Sabtu, 02 Juni 2012

PENDEKATAN HERE-AND-NOW

PENDEKATAN HERE-AND-NOW

Kelompok terapi sangat menekankan pentingnya pengalaman di sini dan pada saat ini (here-and-now”. Fokus here-and-now ini, agar efektif, terdiri dari dua lapisan simbiotik, yang masing-masing tidak akan memiliki daya terapeutik tanpa yang lainnya.

Lapisan pertama adalah "experiencing" (mengalami): para angota kelompok hidup di sini dan pada saat ini; mereka mengembangkan perasaan yang kuat terhadap anggota-anggota lainnya, terapis, dan kelompok. Perasaan “di sini dan pada saat ini” itu menjadi wacana utama di dalam kelompok. Peristiwa yang sedang terjadi di dalam kelompok pada saat ini jauh lebih penting daripada peristiwa-peristiwa di luar kelompok maupun yang terjadi di masa lampau. Fokus ini sangat memfasilitasi perkembangan dan munculnya mikrokosme sosial setiap anggota; memfasilitasi timbulnya umpan balik, perasan haru, self-disclosure yang bermakna, dan perolehan teknik bersosialisasi. Kelompok menjadi lebih vital, dan semua anggotanya (tidak hanya yang sedang “bekerja” pada sesi yang bersangkutan) menjadi intensif keterlibatannya dalam pertemuan kelompok.

Tetapi fokus here-and-now itu akan cepat mencapai batas kegunaanya tanpa lapisan kedua, yaitu iluminasi proses. Jika faktor terapeutik yang sangat efektif, yaitu interpersonal learning, dikehendaki beraksi, maka kelompok harus mengenali, menelaah, dan memahami proses. Kelompok harus menelaah dirinya sendiri; harus mempelajari transaksinya sendiri; harus memunculkan pengalaman murni dan menerapkannya untuk mengintegrasikan pengalaman itu.

Jadi, penggunaan yang efektif dari fokus here-and-now itu dualistik: kelompok hidup di sini dan pada saat ini, dan juga melakukan cermin diri dengan menelaah perilaku di sini dan pada saat ini yang baru saja terjadi.
Jika kelompok itu dikehendaki efektif, maka kedua aspek here-and-now itu harus ada. Andaikata hanya aspek pertama (pengalaman did sini dan pada saat ini) yang ada, maka pengalaman kelompok itu intensif, para anggotanya merasa terlibat mendalam, dan ekspresi emosionalnya tinggi. Tetapi pengalaman tersebut akan pendek umurnya: para anggota tidak akan mempunyai kerangka kognitif yang memungkinkannya mempertahankan pengalaman kelompok itu, menggeneralisasikannya, dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari itu pada situasi “did rumah”. Di pihak lain, jika hanya aspek kedua dari here-and-now (penelaahan proses) yang ada, maka kelompok itu akan kehilangan kegairahannya dan kebermaknaanya; merosot nilainya menjadi sekedar mengasah otak. Dengan demikian, terapis mempunyai dua fungsi dalam here-and-now: mengarahkan kelompok ke kehidupan di sini dan pada saat ini, dan membimbing mereka untuk melakukan refleksi guna menelaah proses.

TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS

TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS

Yalom mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas fundamental seorang terapis kelompok, yaitu: (1) menciptakan dan memelihara kelompok, (2) membangun budaya kelompok, dan (3) activasi dan iluminasi “here-and-now”. Tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas tugas membangun budaya kelompok.

Membangun Budaya Kelompok
Jika sebuah kelompok sudah terbentuk, tugas terapis adalah menjadikan kelompok itu sebagai sebuah sistem sosial terapeutik. Terapis berusaha menetapkan kode aturan perilaku, atau norma, yang akan menjadi pedoman interaksi kelompok. Norma ideal untuk sebuah kelompok terapi adalah yang mengikuti logika diskusi tentang faktor-faktor terapeutik pada bab-bab terdahulu.

Terdapat perbedaan penting antara terapis individual dan terapis kelompok. Dalam format individual, terapis berfungsi sebagai satu-satunya agen perubahan langsung. Di pihak lain, terapis kelompok berfungsi secara tidak langsung. Jadi, jika para anggota kelompok, dalam interaksinya, mengaktifkan faktor-faktor terapeutik itu, maka tugas terapis kelompok adalah menciptakan budaya kelompok yang semaksimal mungkin kondusif bagi interaksi kelompok yang efektif.

Tidak seperti jenis-jenis kelompok lainnya, para anggota kelompok terapi harus merasa bebas mengomentari perasaan yang mereka alami terhadap kelompok, anggota-anggota lain, dan terhadap terapis. Kejujuran dan spontanitas ekspresi harus didorong dalam kelompok ini. Jika kelompok ini ingin mengembangkan mikrokosme sosial yang sesungguhnya, para anggotanya harus berinteraksi secara bebas.

Norma ideal lainnya mencakup keterlibatan aktif dalam kelompok, menerima orang lain sebagaimana adanya, pembukaan diri yang ekstensif, berkeinginan untuk memahami diri sendiri ketidakpuasan akan bentuk perilaku saat ini dan semangat untuk berubah. Norma dapat berupa resep untuk membentuk ataupun menghilangkan jenis perilaku tertentu. Norma mempunyai unsur-unsur evaluatif penting untuk menentukan apakah para anggota harus atau tidak boleh melakukan perilaku tertentu. Norma juga dapat bersifat implisit ataupun eksplisit. Pada umumnya para anggota kelompok tidak merumuskan norma itu secara sadar.

Bagaimanakah Pemimpin Membentuk Norma?
Terdapat dua peran dasar yang dapat dimainkan oleh terapis dalam sebuah kelompok: pakar teknik dan partisipan model. Dalam kedua peran ini terapis membantu membentuk norma kelompok.

Pakar Teknik
Bila berperan sebagai pakar teknik, seorang terapis secara sengaja akan menggunakan berbagai teknik untuk mengerakkan kelompok ke arah yang dipandang ideal. Pada tahap awal mempersiapkan pasien untuk terapi kelompok, terapis secara eksplisit berusaha membentuk norma. Dalam prosedur ini, terapis secara hati-hati mengajar pasien tentang peraturan kelompok. Terapis berusaha menegakkan peraturan ini dengan dua cara: dengan mendukungnya dengan otoritas dan pengalamannya, dan dengan menyajikan rasional di belakang prosedur demi memperoleh dukungan nalar para pasien.

Model Partisipan
Terapis sebagai pemimpin kelompok membentuk norma tidak hanya melalui “social engineering” yang eksplisit maupun implicit, tetapi juga melalui pemberian contoh perilaku personal dalam kelompok. Budaya kelompok terapi sangat berbeda dengan aturan-aturan social yang sudah terbiasa bagi pasien. Pasien diminta membuang kebiasaan-kebiasaan social yang sudah dikenalnya, untuk mencoba perilaku baru, dan untuk mengambil banyak resiko. Berbagai hasil penelitian menujukkan bahwa modeling merupakan satu cara yang efektif untuk membentuk perilaku baru. Dengan memberikan contoh penerimaan yang “nonjudgmental” dan penghargaan terhadap kekuatan maupun kelemahan orang lain, terapis dapat membantu membentuk sebuah kelompok yang berorientasi kesehatan.

Kelompok Self-Monitoring
Penting bahwa kelompok mulai bertanggung jawab untuk keberfungsianya sendiri. Jika norma ini tidak berkembang, maka kelompok akan menjadi pasif dan para anggotanya sangat bergantung pada terapis untuk semua kegiatannya, dan terapis dapat menjadi sangat lelah.

Self-Disclosure (Pembukaan Diri)
Self-disclosure sangat esensial dalam proses terapi kelompok. Pasien tidak akan memperoleh manfaat dari terapi kelompok jika mereka tidak membuka dirinya sepenuhnya. Self-disclosure selalu merupakan tindakan interpersonal.

Norma Prosedural
Format prosedur yang optimal dalam kelompok bersifat tidak terstruktur, tidak dilatihkan, dan berinteraksi secara bebas. Tetapi format seperti ini tidak pernah terbentuk secara alami: banyak pembentukan budaya secara aktif dituntut dari pihak terapis. Terdapat banyak kecenderungan yang harus dibenahi oleh terapis. Kecenderungan alami sebuah kelompok baru adalah menghabiskan seluruh pertemuan untuk membahas masalah satu anggota kelompok secara bergiliran. Anggota-anggota itu dapat bergiliran; sering kali orang pertama yang berbicara atau orang yang menyampaikan tentang krisis kehidupan yang paling menekan pada minggu itu mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan permasalahanya dalam pertemuan itu. Kelompok-kelompok tertentu sangat berkesulitan untuk mengubah fokus dari satu anggota ke anggota lainnya, karena satu norma telah berkembang di mana perubahan topik dianggap sebagai sesuatu yang jelek, tidak sopan, atau ditolak. Anggota-anggota itu mungkin memilih untuk berdiam diri dulu: mereka tidak berani menyela atau meminta giliran berbicara; tetapi diam-diam mereka berharap orang itu akan berhenti berbicara dengan sendirinya.

Pentingnya Kelompok bagi Para Anggotanya
Semakin penting para anggota memandang kelompoknya, akan semakin efektif kelompok itu. Yang paling ideal untuk kepentingan terapi adalah bila para pasien memandang pertemuan kelompok terapi itu sebagai peristiwa yang paling penting dalam kehidupanya setiap minggu. Terapis sebaiknya memperkuat keyakinan ini dengan berbagai cara.

Anggota sebagai Agen Bantuan
Kelompok berfungsi terbaik apabila para anggotanya saling menghargai bantuan yang dapat diberikan oleh masing-masing. Jika kelompok terus memandang terapis sebagai satu-satunya sumber bantuan, maka kelompok itu gagal mencapai tingkat otonomi yang optimal dan self-respect. Untuk memperkuat norma ini, terapis dapat menarik perhatian mereka pada insiden yang menunjukkan sikap saling membantu di kalangan para anggota. Terapis juga dapat mengajarkan cara yang paling efektif untuk saling membantu.

Dukungan
Sebagaimana sudah ditekankan pada bahasan tentang kohesivitas, sangat penting bahwa para anggota sebuah kelompok terapi untuk memandang kelompok sebagai lingkungan yang aman dan suportif. Akhirnya, dalam terapi berjangka panjang, banyak isu yang tidak menyenangkan harus dibicarakan dan dieksplorasi. Banyak pasien bermasalah dengan amarah atau arogansi atau merendahkan diri atau tidak peka atau sekedar gemar membantah. Kelompok terapi tidak dapat menawarkan bantuan tanpa kejadian seperti ini muncul dalam interaksi para anggotanya.

PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK

PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK

Kajian tentang faktor-faktor terapeutik dalam terapi kelompok diawali dengan rasional bahwa gambaran tentang faktor-faktor ini akan mengarah pada pengembangan panduan yang sistematik bagi para terapis dalam menentukan taktik dan strategi yang akan dipergunakannya. Paparan tentang faktor-faktor terapeutik pada Bab 1 bersifat komprehensif tetapi tidak dalam bentuk yang dapat diaplikasikan secara klinis. Penyebabnya adalah demi kejelasan, faktor-faktor tersebut disajikan sebagai entitas yang terpisah-pisah, padahal sesungguhnya mereka saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.

Pentingnya berbagai faktor terapeutik tersebut tergantung pada jenis terapi kelompok yang dipraktekkan. Kelompok-kelompok dengan populasi klinis yang berbeda-beda dan tujuan terapi yang bervariasi (misalnya kelompok pasien rawat jalan jangka panjang, kelompok pasien rawat inap, kelompok berobat jalan, kelompok pembentukan perilaku) mungkin akan menekankan rumpun factor terapeutik yang berbeda. Faktor-faktor terapeutik tertentu penting pada tahap tertentu, sedangkan factor lainnya menonjol pada tahap yang berbeda. Bahkan dalam kelompok yang sama, pasien yang berbeda mungkin mendapatkan faedah dari factor terapeutik yang berbeda pula, tergantung pada kebutuhannya, keterampilan sosialnya, struktur karakternya.

Faktor-faktor tertentu tidak selalu merupakan mekanisme perubahan yang independent melainkan berfungsi sebagai persyaratan untuk perubahan. Misalnya, “instillation of hope” dapat berfungsi terutama untuk mencegah mudah patah semangat dan untuk mempertahankan pasien di dalam kelompok hingga kekuatan lain yang lebih besar mengambil perannya. kohesivitas, yaitu perasaan menjadi anggota kelompok yang bermakna, bagi pasien-pasien tertentu, mungkin merupakan kendaraan utama untuk mencapai perubahan; sedangkan bagi pasien lainnya, kohesivitas penting untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan yang memungkinkannya mengeksplorasi dirinya sendiri, mendapatkan umpan balik interpersonal, dan bereksperimen dengan perilaku baru.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa potensi komparatif dari factor-faktor terapeutik itu merupakan pertanyaan yang kompleks. Faktor yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda bagi kelompok terapi yang berbeda, bagi kelompok yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda, dan bagi pasien yang berbeda dalam satu kelompok yang sama, tergantung pada kebutuhan dan kekuatan masing-masing individu. Namun demikian, secara keseluruhan, sebagian besar bukti penelitian menunjukkan bahwa interaksi interpersonal dan eksplorasi (yang mencakup catharsis dan pemahaman diri) dan group kohesivitas merupakan hasil dari terapi kelompok jangka panjang yang efektif, dan terapis kelompok yang efektif harus mengarahkan upayanya pada pengembangan sumber-sumber daya terapeutik ini secara maksimal.

KOHESIVITAS KELOMPOK

KOHESIVITAS KELOMPOK

Diawali dengan hipotesis bahwa kohesivitas dalam terapi kelompok adalah analog dari "relationship" dalam terapi individual, bab ini membahas bukti-bukti yang mendukung kohesivitas kelompok sebagai satu faktor terapeutik dan berbagai hal yang dipengaruhi oleh kohesivitas kelompok. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan.

Jelas bahwa analog terapi kelompok dengan hubungan pasien-terapis dalam terapi individual merupakan satu konsep yang lebih luas: hubungan ini harus mencakup hubungan pasien tidak hanya dengan terapis kelompok tetapi juga dengan anggota-anggota kelompok lainnya dan dengan kelompoknya secara keseluruhan. Dalam buku ini, “cohesiveness” didefinisikan secara luas sebagai akibat dari semua kekuatan yang mempengaruhi semua anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok, atau secara lebih sederhana, daya tarik kelompok bagi semua anggotanya.
Anggota-anggota sebuah kelompok yang kohesif saling menerima, saling mendukung, dan cenderung menjalin hubungan yang bermakna dalam kelompok. Kohesivitas tampaknya merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan keberhasilan terapi kelompok. Dalam kondisi penerimaan dan pengertian, pasien akan lebih cenderung mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya sendiri, menyadari dan mengintegrasikan aspek-aspek self yang hingga saat itu tidak dapat diterimanya, dan berhubungan secara lebih mendalam dengan orang lain. Harga diri (self-esteem) sangat dipengaruhi oleh peranan pasien di dalam kelompok yang kohesif. Perilaku sosial yang dihargai oleh anggota-anggota kelompok adalah yang adaptif sosial bagi individu di luar kelompok.
Di samping itu, kelompok yang tingkat kohesinya tinggi adalah kelompok yang lebih stabil dengan tingkat kehadiran yang lebih baik dan tingkat terminasi yang lebih kecil. Bukti penelitian mengindikasikan bahwa stabilitas ini vital bagi keberhasilan terapi: terminasi dini mencegah diperolehnya keuntungan oleh pasien yang bersangkutan dan menghambat kemajuan anggota-anggota lainnya juga. Kohesivitas lebih memungkinkan terjadinya pembukaan diri (self-disclosure), pengambilan resiko, dan ekspresi konflik yang konstruktif dalam kelompok – fenomena yang memfasilitasi keberhasilan terapi.

INTERPERSONAL LEARNING

INTERPERSONAL LEARNING

Belajar interpersonal (interpersonal learning), sebagaimana didefinisikan oleh Yalom, merupakan faktor terapeutik yang luas dan kompleks, yang mengandung faktor-faktor terapeutik dalam terapi individual seperti insight, bekerja melalui transferensi, dan pengalaman emosional korektif, maupun proses-proses yang khas dalam setting terapi kelompok. Untuk mendefinisikan konsep interpersonal learning dan untuk mendeskripsikan mekanisme perubahan terapeutik yang dimediasikan oleh konsep ini pada individu, perlu dibahas terlebih dahulu tiga konsep lain yaitu:
1. Pentingnya hubungan interpersonal,
2. Pengalaman emosional korektif,
3. Kelompok sebagai social microcosm.

Pentingnya Hubungan Interpersonal
Dari perspektif apa pun kita mempelajari masyarakat manusia, kita mendapatkan bahwa hubungan interpersonal memainkan peranan yang sangat penting. Apakah kita mempelajari sejarah evolusi kemanusiaan ataupun meneliti perkembangan individu, kita harus selalu memandang umat manusia dalam matrix hubungan interpersonalnya. Terdapat data yang meyakinkan dari berbagai penelitian tentang budaya manusia primitif dan primata nonmanusia bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok yang ditandai oleh hubungan yang kuat di antara para anggotanya. Perilaku interpersonal selalu adaptif terhadap berbagai situasi, dan tanpa hubungan interpersonal yang kuat, positif dan timbal balik, individu maupun spesies manusia tidak akan dapat bertahan hidup.

Pengalaman Emosional Korektif
Pengelaman emosional korektif dalam terapi kelompok mempunyai beberapa komponen:
1. Ekspresi emosi yang kuat yang diarahkan secara interpersonal dan kurang dipandang sebagai resiko oleh pasien;
2. Kelompok cukup suportif untuk memungkinkan pengambilan resiko ini;
3. Uji realita yang memungkinkan pasien untuk menelaah insiden itu dengan bantuan validitas konsensus dari pasien-pasien lain;
4. Mengenali ketidaktepatan perasaan dan perilaku interpersonal tertentu mengenali ketidaktepatan menghindari perilaku interpersonal tertentu;
5. Fasilitasi kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam dan jujur.

Kelompok sebagai Social Microcosm
Jenis kaca mata konseptual apa pun yang dipergunakan oleh terapis atau observer, gaya interpersonal setiap pasien akhirnya akan tampak dalam transaksinya dalam kelompok. Gaya-gaya tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menimbulkan friksi interpersonal dan akan termanifestasi dengan sendirinya dalam kelompok secara lebih cepat daripada gaya-gaya lainnya. Misalnya, individu yang pemarah, pendendam, kasar, tidak menonjolkan diri, atau selalu menonjolkan diri, akan cepat terlihat dalam kehidupan kelompok. Pola hubungan sosial yang maladaptif akan tampak jelas secara jauh lebih cepat daripada pola-pola hubungan sosial dari individu yang secara halus mengeksploitasi orang lain atau mencapai keintiman hingga titik tertentu tetapi kemudian menarik diri karena menjadi merasa takut. Tahap awal terapi kelompok biasanya diarahkan untuk menangani pasien yang patologinya paling mencolok secara interpersonal. Gaya interpersonal tertentu menjadi sangat jelas dari satu transaksi, gaya lainnya dari satu pertemuan kelompok, tetapi ada pula yang membutuhkan observasi beberapa bulan untuk memahaminya. Pengembangan kemampuan mengidentifikasi perilaku interpersonal adaptif dalam mikrokosme sosial dan memanfaatkannya untuk keperluan terapi merupakan salah satu tujuan penting dari program pelatihan bagi terapis.


Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
1. Simtomatologi psikiatrik berasal dari hubungan interpersonal yang terganggu. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan.
2. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien.
3. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi parataksiknya, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu.
4. Terjadi rangkaian peristiwa interpersonal yang teratur:
a. Tayangan patologi – pasien memperlihatkan perilakunya.
b. Melalui umpan balik dan observasi diri, pasien
(1) Menjadi pengamat yang lebih baik terhadap perilakunya sendiri;
(2) Memahami dampak perilaku tersebut terhadap
(a) Perasaan orang lain;
(b) Pendapat orang lain tentang dirinya;
(c) Pendapat dirinya tentang dirinya sendiri.
5. Pasien yang sudah sepenuhnya menyadari rangkaian ini juga menjadi sadar akan tanggung jawab pribadi untuknya: setiap individu merupakan pengarang dunia pribadinya sendiri.
6. Individu yang sepenuhnya menerima tanggung jawab pribadi untuk dunia interpersonal tersebut juga akan menerima segala akibat dari temuannya itu, bahwa sang pencipta dunia inilah yang mampu mengubahnya.
7. Kedalaman dan kebermaknaan kesadaran ini langsung proporsional dengan kadar dampak yang terkait dengan rangkaian tersebut. Semakin riil dan semakin emosional suatu pengalaman, akan semakin kuat juga dampaknya; semakin objektif dan semakin intelektual pengalaman itu, akan semakin kecil efektivitas belajar itu.
8. Sebagai akibat dari kesadaran ini, pasien lambat laun berubah dengan mengambil resiko untuk menciptakan cara-cara baru dalam berhubungan dengan orang lain. Kemungkinan bahwa perubahan itu akan terjadi merupakan fungsi dari:
a. Motivasi pasien untuk berubah dan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pribadi terhadap bentuk perilaku saat ini;
b. Keterlibatan pasien dalam kelompok – yaitu seberapa banyak pasien membiarkan kelompok untuk mempersoalkanya;
c. Kekakuan struktur karakter dan gaya personal pasien.
9. Perubahan perilaku dapat membangkitkan satu siklus baru interpersonal learning melalui observasi diri dan umpan balik dari orang lain.
10. Konsep social microcosm ini dua arah: tidak hanya perilaku luar yang termanifestasikan dalam kelompok, tetapi perilaku yang dipelajari dalam kelompok juga akhirnya terbawa ke dalam lingkungan sosial pasien dan perubahan akan muncul dalam perilaku interpersonalnya di luar kelompok.
11. Lambat laun suatu spiral adaptif terjadi, mula-mula di dalam dan kemudian di luar kelompok. Jika distorsi interpersonal orang itu berkurang, maka kemampuannya untuk menjalin hubungan yang menguntungkan pun bertambah. Kecemasan sosial berkurang; harga diri meningkat; kecenderungan untuk menyembunyikan diri semakin berkurang; orang lain merespon secara positif terhadap perilaku ini dan semakin banyak menunjukkan persetujuan dan penerimaan terhadap pasien, yang selanjutnya lebih meningkatkan lagi harga diri dan memicu lebih banyak perubahan. Akhirnya spiral adaptif itu mencapai tingkat otonomi dan efikasi sedemikian rupa sehingga terapi profesional tidak dibutuhkannya lagi.

Transference dan Insight
Transferensi dan wawasan memainkan dua peranan sentral dalam sebagian besar formulasi proses terapi. Transferensi adalah suatu bentuk distorsi persepsi interpersonal.

Wawasan tidak dapat dideskripsikan secara tepat ; dia bukan sebuah konsep kesatuan. Secara umum, insight dapat diartikan sebagai “melihat ke dalam": suatu proses yang mencakup klarifikasi, penjelasan, dan derepresi. Insight terjadi bila orang menemukan sesuatu yang penting tentang dirinya sendiri – tentang perilakunya, sistem motivasinya, atau ketidaksadarannya.
Dalam proses terapi kelompok, pasien dapat memperoleh insight sekurang-kurangnya pada empat level:
1. Pasien mungkin memperoleh perspektif yang lebih objektif tentang presentasi interpersonalnya.
2. Pasien mungkin memperoleh pemahaman tentang pola perilakunya yang lebih kompleks dengan orang lain.
3. Level ketiga dapat disebut dengan istilah motivational insight. Pada level ini, pasien mungkin memahami mengapa mereka melakukan apa yang dilakukannya terhadap dan dengan orang lain.
4. Insight level keempat, yaitu genetic insight, berusaha membantu pasien memahami bagaimana mereka menjadi dirinya saat ini. Melalui eksplorasi terhadap sejarah perkembangan pribadinya, pasien memahami asal-usul pola perilakunya saat ini.

FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK

FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK

Yalom mengidentifikasi 11 faktor terapeutik dalam terapi kelompok sebagai berikut:
1) Membangkitkan harapan (instillation of hope),
2) Universalitas (universality),
3) Penyampaian informasi (imparting of information),
4) Altruism,
5) Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primber (the corrective recapitulation of the primary family group),
6) Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques),
7) Perilaku imitatif (imitative behavior),
8) Belajar interpersonal (interpersonal learning),
9) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness),
10) Perasaan lega (catharsis), dan
11) Faktor-faktor eksistensial (existential factors).

Membangkitkan Harapan
Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi: harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tingginya ekspektasi terhadap bantuan sebelum terapi dilakukan itu berkorelasi signifikan dengan hasil positif dari terapi.

Universalitas
Perasaan keunikan seorang pasien sering dipertinggi oleh isolasi sosial; karena adanya kesulitan interpersonal, kesempatan untuk mendapatkan validasi yang jujur dan tulus dalam hubungan intim sering tidak didapatkan oleh pasien. Dalam terapi kelompok, terutama pada tahap-tahap awal, diskonfirmasi perasaan unik pada pasien merupakan sumber yang sangat baik untuk menciptakan perasaan lega. Sesudah mendengar pasien lain membeberkan keprihatinan yang serupa dengan keprihatinannya sendiri, para pasien melaporkan bahwa mereka merasa lebih dekat dengan dunia dan merasa menjadi bagian dari ras manusia. Tidak ada perbuatan atau pikiran manusia yang sepenuhnya berada di luar pengalaman orang lain.

Meskipun permasalahan manusia itu kompleks, tetapi terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu dan para anggota sebuah terapi kelompok tidak membutuhkan waktu lama untuk mempersepsi adanya kesamaan itu.

Penyampaian Informasi (Pembelajaran)
Kebanyakan pasien, setelah menamatkan terapi kelompok interaksional secara berhasil merasa sudah belajar banyak tentang keberfungsian psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi. Akan tetapi, proses pembelajaran ini bersifat implisit; terapis kelompok tidak memberikan pengajaran yang eksplisit dalam terapi kelompok interaksional. Meskipun demikian, ada juga pendekatan psikoterapi kelompok di mana pengajaran formal merupakan bagian penting dari programnya.

Pendekatan didaktik dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan dalam terapi kelompok seperti: untuk mentransfer informasi, membentuk kelompok, menjelaskan proses penyakit. Sering kali pembelajaran seperti ini berfungsi sebagai kekuatan pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lainnya beroperasi. Di samping itu, penjelasan dan klarifikasi merupakan faktor yang berfungsi sebagai agen terapi yang efektif.

Altruisme
Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien psikiatrik yang baru memulai terapi kehilangan semangat hidup dan memiliki perasaan tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk ditawarkan kepada orang lain. Mereka telah lama memandang dirinya sebagai beban, dan pengalaman bahwa mereka ternyata dapat dianggap penting orang lain itu akan menyegarkan jiwanya dan mempertinggi rasa harga dirinya.

Para anggota sebuah kelompok terapi memang saling membantu, saling memberikan saran, dukungan, pengertian, dan merasa senasib. Tidak jarang seorang pasien akan lebih mendengarkan dan menyerap hasil pengamatan dari pasien lainnya daripada terapis. Bagi banyak pasien, terapis tetap dipandang sebagai profesional yang dibayar, tetapi pasien-pasien lain dapat diandalkan sebagai pemberi reaksi dan umpan balik yang jujur dan spontan.

Rekapitulasi Korektif Kelompok Keluarga Primer
Tanpa kekecualian, pasien memasuki terapi kelompok dengan riwayat pengalaman yang sangat tidak memuaskan dengan kelompok primernya yaitu keluarga. Dalam banyak aspek, kelompok terapi ini menyerupai keluarga, dan banyak kelompok dipimpin oleh tim terapi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin menyerupai orang tua dalam keluarga. Pasien diharapkan berinteraksi dengan pimpinan kelompok serta anggota-anggota kelompok lainnya seperti berinteraksi dengan orang tua dan saudara. Terdapat berbagai macam pola hubungan: tak berdaya dan sangat bergantung pada pimpinan yang dipandangnya sebagai sangat berpengetahuan dan berkuasa; selalu membangkang pimpinan kelompok yang dipandangnya sebagai merintangi pertumbuhan kemandiriannya atau merampas individualitasnya; mencoba memecah belah ko-terapis dan menanamkan perselisihan dan persaingan di antara mereka; persaingan sengit dengan pasien lain dalam upaya merebut perhatian terapis; berusaha menggalang persekutuan dengan pasien lain untuk menjatuhkan terapis; atau mengabaikan kepentingannya sendiri untuk menyenangkan anggota-anggota lain.


Pengembangan Teknik Sosialisasi
Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi.

Perilaku Imitatif
Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasian dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya bercakap-cakap; atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya; atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akura

Psikoterapi


PENDAHULUAN
                Psikoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang terandalkan dalam tatalaksana pasien psikiatri disamping psikofarmaka dan terapi fisik. Sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari, prinsip-prinsip dan beberapa kaidah yang ada dalam psikoterapi ternyata juga digunakan, antara lain dalam konseling, pendidikan dan pengajaran, atau pun  pemasaran.
                Dalam praktek, psikoterapi dilakukan dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat mengubah pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam, dan hal ini sering tidak kita sadari. Beberapa contohnya, antara lain seorang penakut, dapat berubah menjadi berani, atau, dua orang yang saling bermusuhan satu sama lain, kemudian dapat menjadi saling bermaafan, atau, seseorang yang sedih dapat menjadi gembira setelah menjalani percakapan dengan seseorang yang dipercayainya. Bila kita amati contoh-contoh itu, akan timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah dilakukan terhadap mereka sehingga dapat terjadi perubahan tersebut?  Pada hakekatnya, yang dilakukan ialah pembujukan atau persuasi. Caranya dapat bermacam-macam, antara lain dengan memberi nasehat, memberi contoh, memberikan pengertian, melakukan otoritas untuk mengajarkan sesuatu, memacu imajinasi, melatih, dsb.  Pembujukan ini dapat efektif asal dilakukan pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat, oleh orang yang mempunyai cukup pengalaman.  Pada prinsipnya pembujukan ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai bidang, dan dapat dilakukan oleh banyak orang.
                Dalam dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan hal yang penting oleh karena percakapan atau pembicaraan merupakan hal yang selalu terjadi diantara mereka. Komunikasi berlangsung dari saat perjumpaan pertama, yaitu sewaktu diagnosis belum ditegakkan hingga saat akhir pemberian terapi. Apa pun hasil pengobatan, berhasil atau pun tidak, dokter akan mengkomunikasikannya dengan pasien atau keluarganya; hal itu pun dilakukan melalui pembicaraan. Dalam keseluruhan proses tatalaksana pasien, hubungan dokter-pasien merupakan hal yang penting dan sangat menentukan, dan untuk dapat membentuk dan membina hubungan dokter-pasien  tersebut, seorang dokter dapat mempelajarinya melalui prinsip-prinsip psikoterapi.
                Sejak berabad yang lalu, para ahli telah menyadari bahwa psikoterapi berperan penting pada penyembuhan gangguan-gangguan pikiran dan perasaan, dan dokter berperan penting dalam hal itu (A healer is a person to whom a sufferer tells things; and out of his or her listening, the healer develops the basis for therapeutic interventions. The good listener is the best physician for those who are ill in thought and feeling).  Oleh karena itu dahulu psikoterapi sering disebut sebagai the talking cure. Psikoterapi diterima sebagai ilmu dan ketrampilan tersendiri, sebagai pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip the talking cure tersebut, oleh karena terdiri atas teknik-teknik dan metode khusus yang dapat diajarkan dan dipelajari.                       
                Mengapa psikoterapi penting dipelajari? Psikoterapi merupakan alat yang dapat membantu dan penting dipelajari khususnya oleh dokter dan para profesional lain yang berperan dalam kesehatan dan kesehatan jiwa, namun perlu pula diingat bahwa teknik dan metodenya yang tertentu dan bermacam-macam tersebut memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat dipelajari dan dipraktekkan dengan baik. Tentunya, dengan hanya membaca buku ajar yang singkat ini tidaklah mungkin mencakup keseluruhan hal mengenai psikoterapi, namun setidaknya prinsip-prinsip dasar psikoterapi dapat dipahami, untuk dapat diaplikasikan dalam praktek sehari-hari, sehingga dapat turut menunjang upaya peningkatan mutu pelayanan kepada pasien.
                Secara non spesifik, psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; sebagai suatu yang spesifik atau khusus, sebagaimana telah disebutkan di atas, psikoterapi merupakan rangkaian teknik yang digunakan untuk mengubah perilaku (catatan: teknik merupakan rangkaian tindakan yang dibakukan untuk mendapatkan perubahan tertentu, bukan urutan perubahan alamiah, sehingga harus dilatih untuk mencapai ketrampilan optimal). Dengan psikoterapi, seorang dokter akan dapat memanfaatkan teknik-teknik untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapainya. Bila seorang dokter tidak mengerti atau memahaminya, sebetulnya bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan pasiennya. 

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN PSIKOTERAPI ?
                Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Antara lain yaitu bahwa psikoterapi adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerjasama secara profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. Definisi yang lain yaitu bahwa psikoterapi adalah cara-cara atau pendekatan yang menggunakan teknik-teknik psikologik untuk menghadapi ketidakserasian atau gangguan mental.
                Psikoterapi disebut sebagai pengobatan, karena merupakan suatu bentuk intervensi, dengan berbagai macam cara dan metode - yang bersifat psikologik - untuk tujuan yang telah disebutkan di atas, sehingga psikoterapi merupakan salah satu bentuk terapi atau pengobatan disamping bentuk-bentuk lainnya dalam ilmu kedokteran jiwa khususnya, dan ilmu kedokteran pada umumnya.  
                Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, talking cures telah digunakan orang sejak berabad yang lalu. Misalnya, Soranus dari Ephesus, seorang dokter pada abad pertama Masehi, menggunakan percakapan atau pembicaraan untuk pasien-pasiennya dan mengubah ide-ide yang irasional dari pasien depresi. Kini, dalam terapi kognitif (salah satu jenis psikoterapi), terapis menelusuri cara berpikir yang irasional pada pasien-pasien depresi dan membimbing mereka agar kemudian dapat mengatasinya sendiri.
                Bermula dari Sigmund Freud, pada akhir abad ke-sembilanbelas, yang memaparkan teori psikoanalisisnya, psikoterapi kian berkembang hingga kini. Teknik dan metode yang dicetuskan oleh Freud dapat dikatakan merupakan dasar dari psikoterapi, yang tampaknya, dalam praktek sehari-hari masih tetap digunakan sebagai dasar, apa pun teori yang dianut atau menjadi landasan atau pegangan bagi seseorang yang melakukan psikoterapi .
   
PRINSIP-PRINSIP UMUM  PSIKOTERAPI
                Seperti telah disebutkan, psikoterapi dilakukan dengan cara percakapan atau wawancara (interview). Dalam suatu wawancara, tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengandung kedua aspek tersebut, yaitu untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dengan pasien (sifat terapeutik), dan untuk melengkapi data dalam usaha menegakkan diagnosis. Dalam melakukan psikoterapi, wawancara harus lebih mengutamakan aspek terapeutiknya; data yang diperlukan akan berangsur terkumpul dengan kian membaiknya hubungan interpersonal yang terjalin antara dokter dengan pasiennya, sehingga berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasiennya tersebut.
                Dalam melakukan wawancara, hendaknya kita juga melakukan observasi secara menyeluruh dengan teliti. Sambil mengajukan pertanyaan, kita juga mengamati dan turut serta (sebagai participant observer) dalam proses yang sedang berlangsung pada saat dan situasi tersebut (“the here and now”). Yang kita amati  yaitu : (1). apa yang terjadi pada pasien, (2). apa yang terjadi pada pewawancara atau terapis sendiri, serta (3). apa yang terjadi di antara terapis dan pasiennya. Dalam berhadapan dengan pasien, dokter atau terapis mempengaruhi pasien dengan sikap dan perkataannya, dari menit ke menit, saat ke saat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan sebetulnya bukan hanya (a).apa yang kita bicarakan, tetapi juga (b). bagaimana cara kita melakukannya, (c). kapan (saat atau waktu yang tepat) kita mengungkapkan hal tertentu yang ingin kita sampaikan, serta (d).bagaimana hubungan antara si penolong (dokter atau terapis) dan yang ditolong (pasien) tersebut. Hal-hal tersebut dapat membuat pasien menjadi lebih tenang atau sebaliknya menjadi tegang, lebih terbuka atau tertutup, lebih percaya atau pun curiga, sehingga dapat disimpulkan bahwa selalu ada pengaruh terapeutik maupun kontraterapeutik, dan tidak pernah netral  sama sekali, karena setiap orang mempunyai latar belakang kepribadian dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, yang mempengaruhi cara pandang, cara berpikir dan menghayati segala sesuatu.
                Hal yang sebaliknya juga perlu diingat, bahwa wawancara bukan hanya menghasilkan pengaruh dokter atau terapis atas pasien, namun juga pengaruh pasien terhadap dokternya. Sang dokter, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh  sikap  dan  perkataan pasien, yang akan tercermin dalam sikap, perasaan dan  perilakunya sendiri.  Dipacu oleh sikap dan perilaku pasien terhadapnya (ditambah lagi dengan kehidupan fantasinya sendiri),  dokter atau terapis  dapat  menjadi  tenang,  tegang,  santai, kuatir, terbuka, tertutup, bosan, sedih, kesal, malu, terangsang, dll.; perasaan-perasaan  tersebut  turut  menentukan  apa  yang dikatakannya  kepada pasien (atau tidak dikatakannya)  dan  bagaimana ia mengatakannya.  Untuk  dapat  mengatasi  hal  ini seorang dokter atau terapis perlu belajar untuk memantau perasaan-perasaan reaktifnya tersebut, agar ucapan-ucapan dan sikapnya terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sedikit mungkin  tercampur  dengan  unsur-unsur  yang  berasal dari respons emosional subyektifnya sendiri.
                Agar tujuan terapeutik tercapai, hendaknya senantiasa diusahakan agar dokter dapat menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dan pasien.   Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, senantiasa harus dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan hal tersebut. Bila konteksnya kurang tepat, misalnya, pasien justru dapat merasa tersinggung atau dipermalukan oleh pertanyaan kita (nyata atau tidak nyata), pasien mungkin akan menolak atau menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya.

PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG PERLU DIMILIKI OLEH  SESEORANG  YANG  INGIN  MELAKUKAN PSIKOTERAPI
                Kelengkapan ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan psikoterapi ialah:
a.        Mempunyai pengetahuan mengenai  dasar-dasar ilmu psikologi  dan  psikopatologi serta proses-proses mental. Hal ini dapat diperoleh dari mengikuti kuliah, kursus, maupun membaca sendiri. 
b.        Dapat  menarik  suatu  konklusi  tentang keadaan mental pasien yang telah diperiksa. Hal ini didapat dari latihan intensif dan supervisi, untuk mempertajam fungsi pemeriksaan, terutama dalam hal mendengar dengan cermat (listening).(A healer is one who  listens in order to listen and to understand). Dengan mendengar dengan teliti dan cermat, dibekali oleh pengetahuan yang cukup, kita akan mendapat gambaran tepat tentang pasien-pasien yang diwawancarai. Fungsi mendengar ini amat penting;  dari fungsi ini sedapat-dapatnya kita memperoleh apa yang dimaksud oleh pasien, yang belum tentu sesuai dengan apa yang dikatakannya.  Misalnya:
<>      seorang pasien datang dengan keluhan nyeri di dadanya; hendaknya kita  memperhatikan bagaimana ia mengekspresikan keluhan tersebut dengan cermat.  Bila kita teliti, kita akan merasa dan mengetahui bahwa sebetulnya pada saat itu pasien sedang dalam keadaan sangat cemas. Untuk mengatasi hal itu, tugas  pertama kita adalah mengurangi kecemasannya terlebih dahulu. Barangkali dengan itu saja, sudah akan mengurangi intensitas keluhannya. Untuk melakukan maksud ini pun kita harus lihat dan rasakan dengan teliti; kadang, tujuan  kita akan menurunkan kecemasannya tetapi justru meningkatkannya. Jadi, kita harus mengetahui apa tujuan kita mengajukan pertanyaan tertentu kepada pasien. 
<>      seorang pasien lain datang dengan keluhan sakit yang bermacam-macam yang menimpa beberapa bagian atau organ tubuhnya. Biasanya  kita  langsung berpikir: “Sakit apakah pasien ini?“ Padahal, mungkin yang ia maksud saat itu adalah:“ Saya sedang sangat cemas, dokter!“ Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua yang dikatakan oleh pasien itu tercermin dari perkataannya; bila kita senantiasa teliti,   kita akan merasa dan mengetahui apa yang diucapkan dan diperagakan pasien secara  keseluruhan, baik yang tersurat maupun yang tersirat, karena biasanya keluhan pasien merupakan suatu simbol atau representasi dari hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara verbal, yang biasanya terjadi karena hal itu tidak disadari (berada di alam nirsadar).
<>      seorang  pasien  lain  mengeluhkan  rasa nyeri yang dialami sejak beberapa waktu sebelumnya. Biasanya, kita lalu akan bertanya: “Nyerinya di sebelah mana, ya?“ Dalam hal ini, kita harus mengetahui betul mengapa kita mengajukan pertanyaan tersebut (apa maksud/tujuannya? apakah memang hanya ingin mengetahui lokasi nyerinya, atau ingin memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya?); sebaiknya, pertanyaan kita tersebut mengandung makna bagi pasien (pertanyaan yang logis, sensibel, dapat dimengerti maksud dan tujuannya oleh pasien). Usahakan  tidak mengungkapkan pertanyaan  dengan  kata-kata  yang sulit dimengerti,  karena  ini  dapat  mengakibatkan  pasien  merasa tidak mampu (karena  tidak mengerti pertanyaan kita),  atau  merasa  bahwa  ia  tidak  dipahami.  Kita juga sebaiknya  mengetahui  jawaban  apa  yang  kita  harapkan dari pertanyaan yang kita ajukan tersebut.
c.        Terampil dan berpengalaman dalam menerapkan teknik dan metode penanganan fungsi-fungsi mental pasien. Terdapat teknik-teknik yang biasanya digunakan, antara lain persuasi, desensitisasi, pemberian nasihat, pemberian contoh (modelling), empati, penghiburan, interpretasi, reward & punishment, dll. Pada dasarnya, terdapat manipulasi dasar yang dapat kita lakukan, yaitu :
         >  Cara mengontrol ansietas
         >  Cara mengatasi depresi
         >  Cara menghadapi psikosis

Mengenai lama pendidikan yang dijalani untuk menguasai teknik-teknik tersebut amat bervariasi, tergantung dari latar belakang pendidikan serta jenis psikoterapi yang ingin dimahiri (lihat pembagian jenis psikoterapi; untuk konseling misalnya, minimal diperlukan waktu dua minggu untuk dapat melakukannya sendiri, sedangkan untuk psikoterapi berorientasi dinamik, diperlukan pendidikan intensif sekitar lima-enam tahun untuk mendapatkan  ilmu  dan  ketrampilan yang memadai). 
d.        Kepribadian:
merupakan variabel yang penting dalam psikoterapi (selain variabel pasien dan teknik yang digunakan) yang berpengaruh penting dalam menentukan arah dan hasil terapi. Seseorang yang ingin melakukan psikoterapi hendaknya  memiliki kepribadian  dengan kualitas khusus yang memungkinkan untuk membentuk dan memupuk hubungan yang tepat dan patut dengan pasien-pasiennya, dengan ciri-ciri :
-          Sensitif / sensibel
-          Obyektif dan jujur
-          Fleksibel
-          Dapat berempati
-          Relatif bebas dari problem emosional atau problem kepribadian, yang  serius.
Sebaliknya, ciri/unsur kepribadian yang merugikan keberhasilan terapi, antara lain :
-          Kecenderungan untuk mendominasi, sombong/angkuh, otoriter
-          Kecenderungan untuk pasif dan submisif
-          Sulit untuk terlibat dalam hubungan personal yang bermakna
-          Tidak mampu untuk mentoleransi ekspresi impuls tertentu
-          Mempunyai kebutuhan untuk menggunakan pasien bagi pemuasan impuls yang  terpendam
-          Mempunyai sifat destruktif
e.        Pengalaman :
 pengalaman yang diperoleh dalam menangani pasien, kekayaan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, luasnya wawasan dalam pengetahuan, budaya, agama, hal-hal spiritual, merupakan  bekal yang penting. Problem pribadi yang dialami tidak dapat menjadi ukuran dalam menangani pasien. Yang menarik ialah bahwa tidak ada seorang pasien pun yang sama, setiap pasien adalah unik. Pengalaman yang dimiliki akan berguna dalam mengatur strategi dan teknik untuk mencapai tujuan terapi.

JENIS-JENIS PSIKOTERAPI
a. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, psikoterapi dibedakan atas:
1 Psikoterapi Suportif:
Tujuan:
- Mendukung funksi-funksi ego, atau memperkuat mekanisme defensi yang ada
- Memperluas mekanisme pengendalian yang dimiliki dengan yang baru dan lebih baik.
- Perbaikan ke suatu keadaan keseimbangan yang lebih adaptif.
Cara atau pendekatan: bimbingan, reassurance, katarsis emosional, hipnosis, desensitisasi, eksternalisasi minat, manipulasi lingkungan, terapi kelompok.
2  Psikoterapi Reedukatif:
Tujuan:
Mengubah pola perilaku dengan meniadakan kebiasaan (habits) tertentu dan membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan.
Cara atau pendekatan: Terapi perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, psikodrama, dll.
3. Psikoterapi Rekonstruktif:
Tujuan :
Dicapainya tilikan (insight) akan konflik-konflik nirsadar, dengan usaha untuk mencapai perubahan luas struktur kepribadian seseorang.
Cara atau pendekatan: Psikoanalisis klasik dan Neo-Freudian (Adler, Jung, Sullivan, Horney, Reich, Fromm, Kohut, dll.), psikoterapi berorientasi psikoanalitik atau dinamik.

b. Menurut “dalamnya”, psikoterapi terdiri atas: 
1. ”superfisial”, yaitu yang menyentuh hanya kondisi atau proses pada “permukaan”, yang tidak menyentuh hal-hal yang nirsadar atau materi yangdirepresi.
2. “mendalam” (deep), yaitu yang menangani hal atau proses yang tersimpan dalam alam nirsadar atau materi yang direpresi.

c. Menurut teknik yang terutama digunakan, psikoterapi dibagi menurut teknik perubahan yang digunakan, antara lain psikoterapi ventilatif, sugestif, katarsis, ekspresif, operant conditioning, modeling, asosiasi bebas, interpretatif, dll.

d. Menurut konsep teoretis tentang motivasi dan perilaku, psikoterapi dapat dibedakan menjadi: psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional dianggap teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi); psikoterapi kognitif (problem diatasi dengan mengkoreksi sambungan kognitif automatis yang “keliru”; dan psikoterapi evokatif, analitik, dinamik (membawa ingatan, keinginan, dorongan, ketakutan, dll. yang nirsadar ke dalam kesadaran). Psikoterapi kognitif dan perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan psikoterapi dinamik berdasar pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.

e. Menurut setting-nya, psikoterapi terdiri atas psikoterapi individual dan kelompok (terdiri atas terapi marital/pasangan, terapi keluarga, terapi kelompok)
Terapi marital atau pasangan diindikasikan bila ada problem di antara pasangan, misalnya komunikasi, persepsi,dll. Terapi keluarga, dilakukan bila struktur dan fungsi dalam suatu keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, akan mempengaruhi keadaan dan interaksi dalam keluarga dan sebaliknya, keadaan keluarga akan mempengaruhi gangguan serta prognosis pasien. Untuk itu seluruh anggota keluarga diwajibkan hadir pada setiap sesi terapi. Terapi kelompok, dilakukan terhadap sekelompok pasien (misalnya enam atau delapan orang), oleh satu atau dua orang terapis. Metode dan caranya bervariasi; ada yang suportif dan bersifat edukasi, ada yang interpretatif dan analitik. Kelompok ini dapat terdiri atas pasien-pasien dengan gangguan yang berbeda, atau dengan problem yang sama, misalnya gangguan makan, penyalahgunaan zat, dll. Diharapkan mereka dapat saling memberikan dukungan dan harapan serta dapat belajar tentang cara baru mengatasi problem yang dihadapi.

f.  Menurut nama pembuat teori atau perintis metode psikoterapeutiknya, psikoterapi dibagi menjadi psikoanalisis Freudian, analisis Jungian, analisis transaksional Eric Berne, terapi rasional-emotif Albert Ellis, konseling non-direktif Rogers, terapi Gestalt dari Fritz Perls, logoterapi Viktor Frankl, dll.

g. Menurut teknik tambahan khusus yang digabung dengan psikoterapi, misalnya narkoterapi, hypnoterapi, terapi musik, psikodrama, terapi permainan dan peragaan (play therapy), psikoterapi religius, dan latihan meditasi.

h. Yang belum disebutkan dalam pembagian di atas namun akhir-akhir ini banyak dipakai antara lain: konseling, terapi interpersonal, intervensi krisis.

Konseling:
menurut para ahli sebetulnya tidak termasuk psikoterapi, oleh karena tidak memenuhi kriteria dan batasannya, antara lain teknik, tujuan dan orang yang melakukannya, walaupun hubungan yang terjadi di dalamnya juga merupakan “the helping relationships”.  Konseling bukan hanya hubungan profesional antara dokter-pasien, tetapi dapat dilakukan dalam berbagai bidang profesi, misalnya guru, pengacara, penasehat keuangan, dsb. 
Konseling:
                Merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu.
Fokus pada masalah klien atau pasien.
Percakapannya merupakan percakapan dua arah.
Bentuknya  terstruktur, yaitu terdiri atas: menyambut, membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
Bertujuan membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Memerlukan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal. Konseling dilakukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dan nyaman

Tujuan:
            - Membantu kemampuan klien atau pasien untuk mengambil keputusan yang      bijaksana dan realistik.
            - Menuntun perilaku klien/pasien agar mampu mengemban konsekuensinya
            - Memberikan informasi dan edukasi
Terdapat dua tipe konseling:
a. Pengarahan untuk mengatasi kesulitan pengambilan keputusan
b. Konseling untuk membantu  seseorang  dalam  suatu  pilihan  yang  vital

Terapi interpersonal:
Dilakukan  terhadap  pasien  yang  mengalami  konflik  saat  ini dengan pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam karier atau peran sosial atau perubahan hidup lainnya. Banyak dilakukan terhadap depresi sedang dan berat.

Intervensi krisis:
Dilakukan terhadap pasien yang sedang mengalami suatu krisis dan memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu suatu respons terhadap keadaan bahaya atau penuh risiko dan dirasakan/dihayati sebagai keadaan yang menyakitkan, agar tercapai kembali keadaan seimbang (emotional equilibrium). Dalam terapi ini kita harus secepatnya membina hubungan interpersonal yang adekuat serta mengerti peran psikodinamik dan hubungannya terhadap krisis yang terjadi. Teknik yang dilakukan yaitu reassurance, sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi psikotropik. Kita ajarkan kepada pasien untuk menghindari situasi yang berbahaya untuk mencegah terjadinya kembali krisis di masa yang akan  datang.

PROSES  PSIKOTERAPI  PRAKTIS ( SECARA GARIS BESAR )
                Dalam psikoterapi, begitu banyak variabel yang berperan sehingga kita dapat kehilangan arah dan terhalang oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses,  baik dari sisi pasien,  dokter  maupun sifat hubungan antara dokter-pasien.
                Dari sisi pasien, faktor yang dapat mempengaruhi proses, antara lain adanya motivasi, fenomena transferensi, resistensi, mekanisme defensi, dsb. Transferensi adalah suatu distorsi persepsi pada pasien, yang secara nirsadar menganggap seorang terapis sebagai figur yang bermakna pada masa lalunya. Bila hal ini diketahui/disadari oleh terapis, justru dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan psikoterapi. Resistensi (berbeda dengan definisi menurut ilmu kedokteran umum - yang berarti daya tahan organisme terhadap penyakit) yaitu perlawanan pasien terhadap usaha-usaha untuk mengubah pola perilakunya, memberikan suatu tilikan, membuat unsur nirsadar menjadi sadar. Mekanisme defensi, yaitu mekanisme nirsadar untuk mengelakkan pengetahuan sadar tentang konflik dan ansietas yang berkaitan dengan hal itu.
                Dari pihak dokter atau terapis, hal yang sama dapat pula dialami, yaitu kontra-transferensi (salah persepsi terapis terhadap pasiennya), resistensi, dsb., disertai teknik dan ketrampilan yang dimiliki oleh sang terapis, turut mempengaruhi proses terapi.
                Secara garis besar, untuk psikoterapi yang terstruktur, terdapat kerangka umum yang terencana, sehingga seseorang dapat lebih terarah dan mantap dalam usaha untuk mencapai tujuan terapeutik yang bermakna. Kerangka kerja umum tersebut hendaknya cukup luwes dan luas (holistik), yang dapat mencakup berbagai orientasi dan disiplin. Adapun kerangka proses psikoterapi tersebut 2 :
1. Fase Awal:
Tujuannya membentuk hubungan kerja dengan pasien. Tugas Terapeutik : 1. Memotivasi pasien untuk menerima terapi, 2. Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi (bila ada), 3. Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan bahwa terapis mampu membantunya, 4. Menetapkan secara tentatif mengenai tujuan terapi.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk: 1. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia dapat dibantu, 2.Penolakan terhadap arti dan situasi terapi, 3. Tidak dapat dipengaruhi, terdapat hostilitas dan agresi, dependensi yang mendalam, dan 4. Berbagai resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan yang sehat dan hangat.
Masalah kontratransferensi dalam diri terapis, antara lain: 1. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling mengerti secara timbal balik,2. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien untuk terapi dan terhadap terapis, 3. Tidak mampu memberi kehangatan kepada pasien, dan 4. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap pasien dan masalahnya.

2. Fase Pertengahan:
Tujuannya: menentukan perkiraan sebab dan dinamik gangguan yang dialami pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian (bila telah ada), menentukan langkah korektif. Tugas terapeutik: 1.Mengeksplorasi berbagai frustrasi terhadap lingkungan dan hubungan interpersonal yang menimbulkan ansietas. Bila melakukan psikoterapi dinamik, gunakan asosiasi, analsisi karakter, analisis transferensi, interpretasi mimpi. Pada terapi perilaku, kita menilai faktor-faktor yang perlu diperkuat dan gejala-gejala yang perlu dihilangkan. 2. Membantu pasien dalam mengatasi ansietas yang berhubungan dengan problem    kehidupan.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk: 1. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan dan kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan, 2. Tidak mau, atau tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan mengatasi ansietas yang berhubungan dengan konflik, keinginan dan ketakutan
Masalah kontratransferensi dalam diri terapis dapat berupa: 1.Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan ansietas dalam diri terapis; 2. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada fase permulaan, 3. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien.

3.  Fase akhir:
Tujuannya yaitu: terminasi terapi. Tugas terapeutiknya antara lain: 1. Menganalisis elemen-elemen dependensi hubungan terapis – pasien; 2. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien membuat keputusan, menentukan nilai dan cita-cita sendiri. 3. Membantu pasien mencapai kemandirian dan ketegasan diri yang setinggi-tingginya. 
Resistensi pada pasien dapat berupa: 1. Penolakan untuk melepaskan dependensi; 2. Ketakutan untuk mandiri dan asertif
Masalah kontratransferensi pada terapis: 1. Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien; 2. Tidak mampu mengambil sikap/peran yang non direktif sebagai terapis.

EFEKTIVITAS PSIKOTERAPI
                Dari pelbagai penelitian statistik yang telah dilakukan, ternyata di antara sekian banyak bentuk dan jenis psikoterapi yang ada, tidak satu pun terbukti lebih unggul daripada yang lain. Perbaikan terapeutik yang dicapai, ditentukan oleh faktor-faktor:
-  tujuan yang ingin dicapai
-  motivasi pasien
-  kepribadian dan ketrampilan terapis
-  teknik yang digunakan 
               
SIMPULAN
                Telah diuraikan dasar-dasar psikoterapi secara singkat dan terbatas. Psikoterapi memang merupakan ilmu dan ketrampilan tersendiri yang bermanfaat untuk pasien-pasien  dengan problem kejiwaan khususnya dan problem kesehatan pada umumnya. Ilmu dan ketrampilan ini dapat diajarkan dan dipelajari namun memerlukan waktu yang tidak sedikit, ketekunan serta kepribadian terapis yang juga tidak kalah pentingnya.
                Untuk dokter umum  yang bertugas sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan di tanah air, psikoterapi penting untuk dipelajari, walaupun memerlukan waktu yang khusus dan cukup lama untuk mempelajari kembali karena terdiri atas teknik-teknik dan metode tertentu. Oleh karena itu, minimal konseling dan psikoterapi suportif hendaknya dapat dipahami dengan baik. Psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; bila serang dokter tidak memahaminya, bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya diharapkan dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan pasiennya.
                Dalam melakukan wawancara dalam praktek sehari-hari dengan pasien, beberapa hal yang perlu diingat antara lain bahwa wawancara mengandung makna terapeutik selain untuk pengambilan data dalam upaya penegakan diagnosis. Komunikasi antara dokter-pasien adalah penting. Dalam berhadapan dengan pasien, hendaknya kita senantiasa membina hubungan interpersonal dengan optimal, mengerti dan sadar apa yang kita bicarakan, bagaimana cara penyampaiannya, bilamana, serta dalam konteks apa kita menyampaikan pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan kita. Hendaknya kita perlu belajar memantau hal-hal tersebut agar ucapan-ucapan dan sikap kita terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sesedikit mungkin tercampur oleh unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektif kita.
                Ketrampilan  yang  perlu  dilatih terus-menerus ialah dalam mendengarkan dengan cermat (empathic listening). Dengan mendengar dengan teliti, disertai observasi yang cermat, serta didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang psikologi, psikopatologi dan proses-proses kejiwaan, kita akan mendapat gambaran yang tepat dan menyeluruh tentang pasien.
                Setelah melakukan wawancara dengan pasien, hendaknya kita dapat membuat konklusi tentang keadaan mental pasien {seberapa cemas, apakah ia dalam keadaan depresi, bingung (confuse), marah, atau bahkan tidak mengerti harus berbuat apa}; setelah itu tentunya kita harus mengetahui langkah apa yang harus kita perbuat untuk menolongnya.

PUSTAKA ACUAN
1.        Kaplan H.I. & Sadock BJ Psychotherapies, in Comprehensive Textbook of Psychiatry, Chapter 31, Eight Edition, Vol.2, William & Wilkins, Baltimore, 2004,  1767-70.
2.        Gabbard G.O. Individual Psychotherapy, in Psychodynamic Psychiatry Clinical Practice - The DSM - IV Edition, American Psychiatric Press, 2000, 91-5.
3.        Lubis DB & Elvira SD. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Balai Penerbit FKUI, 2005: 10-12
4.        Elvira SD. Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit FKUI, 2005: 5,7, 9.
5.        Gabbard GO. Long-Term Dynamic Psychotherapy, American Psychiatric Press, 2004, 91-5.
6.        Jackson SW. The Listening Healer in the History of Psychological Healing. Am J of Psychiatry: Dec. 1992
7.        Green B. Psychotherapy, in Problem-based Psychiatry, Churchill Livingstone, Medical Division of Pearson Professional Ltd., 1996, 140-3.
8.        Wolberg L.R. What is Psychotherapy?  in  The Technique os Psychotherapy, Part One, Grune & Stratton, New York, San Fransisco, London,1977,  3-4, 15-6
9.        Lubis D.B. Wawancara  Psikiatrik, dalam Pengantar  Psikiatri  Klinik, Balai  Penerbit  FKUI,  1989, 58-9, 97, 106, 112.
10.     Janis I.L. Problems of Short-term Counseling, in Short-term Counseling, Yale University Press, New Haven and London, 1983, 8-10.
11.     Karasu T.B.  Psychotherapies:  An Overview,  American J. Psychiatry, 134 : 8, 1977,  857- 8.
12.     Weissman M.M. & Markowitz, J.C., Interpersonal Psychotherapy, Current status, Arch. Gen. Psychiatry, 51, 1994, 599 - 601.