PENDEKATAN HERE-AND-NOW
Kelompok terapi sangat menekankan
pentingnya pengalaman di sini dan pada saat ini (here-and-now”. Fokus
here-and-now ini, agar efektif, terdiri dari dua lapisan simbiotik, yang
masing-masing tidak akan memiliki daya terapeutik tanpa yang lainnya.
Lapisan
pertama adalah "experiencing" (mengalami): para angota kelompok hidup
di sini dan pada saat ini; mereka mengembangkan perasaan yang kuat
terhadap anggota-anggota lainnya, terapis, dan kelompok. Perasaan “di
sini dan pada saat ini” itu menjadi wacana utama di dalam kelompok.
Peristiwa yang sedang terjadi di dalam kelompok pada saat ini jauh lebih
penting daripada peristiwa-peristiwa di luar kelompok maupun yang
terjadi di masa lampau. Fokus ini sangat memfasilitasi perkembangan dan
munculnya mikrokosme sosial setiap anggota; memfasilitasi timbulnya
umpan balik, perasan haru, self-disclosure yang bermakna, dan perolehan
teknik bersosialisasi. Kelompok menjadi lebih vital, dan semua
anggotanya (tidak hanya yang sedang “bekerja” pada sesi yang
bersangkutan) menjadi intensif keterlibatannya dalam pertemuan kelompok.
Tetapi fokus here-and-now itu akan cepat mencapai batas
kegunaanya tanpa lapisan kedua, yaitu iluminasi proses. Jika faktor
terapeutik yang sangat efektif, yaitu interpersonal learning,
dikehendaki beraksi, maka kelompok harus mengenali, menelaah, dan
memahami proses. Kelompok harus menelaah dirinya sendiri; harus
mempelajari transaksinya sendiri; harus memunculkan pengalaman murni dan
menerapkannya untuk mengintegrasikan pengalaman itu.
Jadi,
penggunaan yang efektif dari fokus here-and-now itu dualistik: kelompok
hidup di sini dan pada saat ini, dan juga melakukan cermin diri dengan
menelaah perilaku di sini dan pada saat ini yang baru saja terjadi.
Jika
kelompok itu dikehendaki efektif, maka kedua aspek here-and-now itu
harus ada. Andaikata hanya aspek pertama (pengalaman did sini dan pada
saat ini) yang ada, maka pengalaman kelompok itu intensif, para
anggotanya merasa terlibat mendalam, dan ekspresi emosionalnya tinggi.
Tetapi pengalaman tersebut akan pendek umurnya: para anggota tidak akan
mempunyai kerangka kognitif yang memungkinkannya mempertahankan
pengalaman kelompok itu, menggeneralisasikannya, dan menerapkan apa yang
telah mereka pelajari itu pada situasi “did rumah”. Di pihak lain,
jika hanya aspek kedua dari here-and-now (penelaahan proses) yang ada,
maka kelompok itu akan kehilangan kegairahannya dan kebermaknaanya;
merosot nilainya menjadi sekedar mengasah otak. Dengan demikian, terapis
mempunyai dua fungsi dalam here-and-now: mengarahkan kelompok ke
kehidupan di sini dan pada saat ini, dan membimbing mereka untuk
melakukan refleksi guna menelaah proses.
Sabtu, 02 Juni 2012
TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS
TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS
Yalom mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas fundamental seorang terapis kelompok, yaitu: (1) menciptakan dan memelihara kelompok, (2) membangun budaya kelompok, dan (3) activasi dan iluminasi “here-and-now”. Tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas tugas membangun budaya kelompok.
Membangun Budaya Kelompok
Jika sebuah kelompok sudah terbentuk, tugas terapis adalah menjadikan kelompok itu sebagai sebuah sistem sosial terapeutik. Terapis berusaha menetapkan kode aturan perilaku, atau norma, yang akan menjadi pedoman interaksi kelompok. Norma ideal untuk sebuah kelompok terapi adalah yang mengikuti logika diskusi tentang faktor-faktor terapeutik pada bab-bab terdahulu.
Terdapat perbedaan penting antara terapis individual dan terapis kelompok. Dalam format individual, terapis berfungsi sebagai satu-satunya agen perubahan langsung. Di pihak lain, terapis kelompok berfungsi secara tidak langsung. Jadi, jika para anggota kelompok, dalam interaksinya, mengaktifkan faktor-faktor terapeutik itu, maka tugas terapis kelompok adalah menciptakan budaya kelompok yang semaksimal mungkin kondusif bagi interaksi kelompok yang efektif.
Tidak seperti jenis-jenis kelompok lainnya, para anggota kelompok terapi harus merasa bebas mengomentari perasaan yang mereka alami terhadap kelompok, anggota-anggota lain, dan terhadap terapis. Kejujuran dan spontanitas ekspresi harus didorong dalam kelompok ini. Jika kelompok ini ingin mengembangkan mikrokosme sosial yang sesungguhnya, para anggotanya harus berinteraksi secara bebas.
Norma ideal lainnya mencakup keterlibatan aktif dalam kelompok, menerima orang lain sebagaimana adanya, pembukaan diri yang ekstensif, berkeinginan untuk memahami diri sendiri ketidakpuasan akan bentuk perilaku saat ini dan semangat untuk berubah. Norma dapat berupa resep untuk membentuk ataupun menghilangkan jenis perilaku tertentu. Norma mempunyai unsur-unsur evaluatif penting untuk menentukan apakah para anggota harus atau tidak boleh melakukan perilaku tertentu. Norma juga dapat bersifat implisit ataupun eksplisit. Pada umumnya para anggota kelompok tidak merumuskan norma itu secara sadar.
Bagaimanakah Pemimpin Membentuk Norma?
Terdapat dua peran dasar yang dapat dimainkan oleh terapis dalam sebuah kelompok: pakar teknik dan partisipan model. Dalam kedua peran ini terapis membantu membentuk norma kelompok.
Pakar Teknik
Bila berperan sebagai pakar teknik, seorang terapis secara sengaja akan menggunakan berbagai teknik untuk mengerakkan kelompok ke arah yang dipandang ideal. Pada tahap awal mempersiapkan pasien untuk terapi kelompok, terapis secara eksplisit berusaha membentuk norma. Dalam prosedur ini, terapis secara hati-hati mengajar pasien tentang peraturan kelompok. Terapis berusaha menegakkan peraturan ini dengan dua cara: dengan mendukungnya dengan otoritas dan pengalamannya, dan dengan menyajikan rasional di belakang prosedur demi memperoleh dukungan nalar para pasien.
Model Partisipan
Terapis sebagai pemimpin kelompok membentuk norma tidak hanya melalui “social engineering” yang eksplisit maupun implicit, tetapi juga melalui pemberian contoh perilaku personal dalam kelompok. Budaya kelompok terapi sangat berbeda dengan aturan-aturan social yang sudah terbiasa bagi pasien. Pasien diminta membuang kebiasaan-kebiasaan social yang sudah dikenalnya, untuk mencoba perilaku baru, dan untuk mengambil banyak resiko. Berbagai hasil penelitian menujukkan bahwa modeling merupakan satu cara yang efektif untuk membentuk perilaku baru. Dengan memberikan contoh penerimaan yang “nonjudgmental” dan penghargaan terhadap kekuatan maupun kelemahan orang lain, terapis dapat membantu membentuk sebuah kelompok yang berorientasi kesehatan.
Kelompok Self-Monitoring
Penting bahwa kelompok mulai bertanggung jawab untuk keberfungsianya sendiri. Jika norma ini tidak berkembang, maka kelompok akan menjadi pasif dan para anggotanya sangat bergantung pada terapis untuk semua kegiatannya, dan terapis dapat menjadi sangat lelah.
Self-Disclosure (Pembukaan Diri)
Self-disclosure sangat esensial dalam proses terapi kelompok. Pasien tidak akan memperoleh manfaat dari terapi kelompok jika mereka tidak membuka dirinya sepenuhnya. Self-disclosure selalu merupakan tindakan interpersonal.
Norma Prosedural
Format prosedur yang optimal dalam kelompok bersifat tidak terstruktur, tidak dilatihkan, dan berinteraksi secara bebas. Tetapi format seperti ini tidak pernah terbentuk secara alami: banyak pembentukan budaya secara aktif dituntut dari pihak terapis. Terdapat banyak kecenderungan yang harus dibenahi oleh terapis. Kecenderungan alami sebuah kelompok baru adalah menghabiskan seluruh pertemuan untuk membahas masalah satu anggota kelompok secara bergiliran. Anggota-anggota itu dapat bergiliran; sering kali orang pertama yang berbicara atau orang yang menyampaikan tentang krisis kehidupan yang paling menekan pada minggu itu mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan permasalahanya dalam pertemuan itu. Kelompok-kelompok tertentu sangat berkesulitan untuk mengubah fokus dari satu anggota ke anggota lainnya, karena satu norma telah berkembang di mana perubahan topik dianggap sebagai sesuatu yang jelek, tidak sopan, atau ditolak. Anggota-anggota itu mungkin memilih untuk berdiam diri dulu: mereka tidak berani menyela atau meminta giliran berbicara; tetapi diam-diam mereka berharap orang itu akan berhenti berbicara dengan sendirinya.
Pentingnya Kelompok bagi Para Anggotanya
Semakin penting para anggota memandang kelompoknya, akan semakin efektif kelompok itu. Yang paling ideal untuk kepentingan terapi adalah bila para pasien memandang pertemuan kelompok terapi itu sebagai peristiwa yang paling penting dalam kehidupanya setiap minggu. Terapis sebaiknya memperkuat keyakinan ini dengan berbagai cara.
Anggota sebagai Agen Bantuan
Kelompok berfungsi terbaik apabila para anggotanya saling menghargai bantuan yang dapat diberikan oleh masing-masing. Jika kelompok terus memandang terapis sebagai satu-satunya sumber bantuan, maka kelompok itu gagal mencapai tingkat otonomi yang optimal dan self-respect. Untuk memperkuat norma ini, terapis dapat menarik perhatian mereka pada insiden yang menunjukkan sikap saling membantu di kalangan para anggota. Terapis juga dapat mengajarkan cara yang paling efektif untuk saling membantu.
Dukungan
Sebagaimana sudah ditekankan pada bahasan tentang kohesivitas, sangat penting bahwa para anggota sebuah kelompok terapi untuk memandang kelompok sebagai lingkungan yang aman dan suportif. Akhirnya, dalam terapi berjangka panjang, banyak isu yang tidak menyenangkan harus dibicarakan dan dieksplorasi. Banyak pasien bermasalah dengan amarah atau arogansi atau merendahkan diri atau tidak peka atau sekedar gemar membantah. Kelompok terapi tidak dapat menawarkan bantuan tanpa kejadian seperti ini muncul dalam interaksi para anggotanya.
Yalom mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas fundamental seorang terapis kelompok, yaitu: (1) menciptakan dan memelihara kelompok, (2) membangun budaya kelompok, dan (3) activasi dan iluminasi “here-and-now”. Tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas tugas membangun budaya kelompok.
Membangun Budaya Kelompok
Jika sebuah kelompok sudah terbentuk, tugas terapis adalah menjadikan kelompok itu sebagai sebuah sistem sosial terapeutik. Terapis berusaha menetapkan kode aturan perilaku, atau norma, yang akan menjadi pedoman interaksi kelompok. Norma ideal untuk sebuah kelompok terapi adalah yang mengikuti logika diskusi tentang faktor-faktor terapeutik pada bab-bab terdahulu.
Terdapat perbedaan penting antara terapis individual dan terapis kelompok. Dalam format individual, terapis berfungsi sebagai satu-satunya agen perubahan langsung. Di pihak lain, terapis kelompok berfungsi secara tidak langsung. Jadi, jika para anggota kelompok, dalam interaksinya, mengaktifkan faktor-faktor terapeutik itu, maka tugas terapis kelompok adalah menciptakan budaya kelompok yang semaksimal mungkin kondusif bagi interaksi kelompok yang efektif.
Tidak seperti jenis-jenis kelompok lainnya, para anggota kelompok terapi harus merasa bebas mengomentari perasaan yang mereka alami terhadap kelompok, anggota-anggota lain, dan terhadap terapis. Kejujuran dan spontanitas ekspresi harus didorong dalam kelompok ini. Jika kelompok ini ingin mengembangkan mikrokosme sosial yang sesungguhnya, para anggotanya harus berinteraksi secara bebas.
Norma ideal lainnya mencakup keterlibatan aktif dalam kelompok, menerima orang lain sebagaimana adanya, pembukaan diri yang ekstensif, berkeinginan untuk memahami diri sendiri ketidakpuasan akan bentuk perilaku saat ini dan semangat untuk berubah. Norma dapat berupa resep untuk membentuk ataupun menghilangkan jenis perilaku tertentu. Norma mempunyai unsur-unsur evaluatif penting untuk menentukan apakah para anggota harus atau tidak boleh melakukan perilaku tertentu. Norma juga dapat bersifat implisit ataupun eksplisit. Pada umumnya para anggota kelompok tidak merumuskan norma itu secara sadar.
Bagaimanakah Pemimpin Membentuk Norma?
Terdapat dua peran dasar yang dapat dimainkan oleh terapis dalam sebuah kelompok: pakar teknik dan partisipan model. Dalam kedua peran ini terapis membantu membentuk norma kelompok.
Pakar Teknik
Bila berperan sebagai pakar teknik, seorang terapis secara sengaja akan menggunakan berbagai teknik untuk mengerakkan kelompok ke arah yang dipandang ideal. Pada tahap awal mempersiapkan pasien untuk terapi kelompok, terapis secara eksplisit berusaha membentuk norma. Dalam prosedur ini, terapis secara hati-hati mengajar pasien tentang peraturan kelompok. Terapis berusaha menegakkan peraturan ini dengan dua cara: dengan mendukungnya dengan otoritas dan pengalamannya, dan dengan menyajikan rasional di belakang prosedur demi memperoleh dukungan nalar para pasien.
Model Partisipan
Terapis sebagai pemimpin kelompok membentuk norma tidak hanya melalui “social engineering” yang eksplisit maupun implicit, tetapi juga melalui pemberian contoh perilaku personal dalam kelompok. Budaya kelompok terapi sangat berbeda dengan aturan-aturan social yang sudah terbiasa bagi pasien. Pasien diminta membuang kebiasaan-kebiasaan social yang sudah dikenalnya, untuk mencoba perilaku baru, dan untuk mengambil banyak resiko. Berbagai hasil penelitian menujukkan bahwa modeling merupakan satu cara yang efektif untuk membentuk perilaku baru. Dengan memberikan contoh penerimaan yang “nonjudgmental” dan penghargaan terhadap kekuatan maupun kelemahan orang lain, terapis dapat membantu membentuk sebuah kelompok yang berorientasi kesehatan.
Kelompok Self-Monitoring
Penting bahwa kelompok mulai bertanggung jawab untuk keberfungsianya sendiri. Jika norma ini tidak berkembang, maka kelompok akan menjadi pasif dan para anggotanya sangat bergantung pada terapis untuk semua kegiatannya, dan terapis dapat menjadi sangat lelah.
Self-Disclosure (Pembukaan Diri)
Self-disclosure sangat esensial dalam proses terapi kelompok. Pasien tidak akan memperoleh manfaat dari terapi kelompok jika mereka tidak membuka dirinya sepenuhnya. Self-disclosure selalu merupakan tindakan interpersonal.
Norma Prosedural
Format prosedur yang optimal dalam kelompok bersifat tidak terstruktur, tidak dilatihkan, dan berinteraksi secara bebas. Tetapi format seperti ini tidak pernah terbentuk secara alami: banyak pembentukan budaya secara aktif dituntut dari pihak terapis. Terdapat banyak kecenderungan yang harus dibenahi oleh terapis. Kecenderungan alami sebuah kelompok baru adalah menghabiskan seluruh pertemuan untuk membahas masalah satu anggota kelompok secara bergiliran. Anggota-anggota itu dapat bergiliran; sering kali orang pertama yang berbicara atau orang yang menyampaikan tentang krisis kehidupan yang paling menekan pada minggu itu mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan permasalahanya dalam pertemuan itu. Kelompok-kelompok tertentu sangat berkesulitan untuk mengubah fokus dari satu anggota ke anggota lainnya, karena satu norma telah berkembang di mana perubahan topik dianggap sebagai sesuatu yang jelek, tidak sopan, atau ditolak. Anggota-anggota itu mungkin memilih untuk berdiam diri dulu: mereka tidak berani menyela atau meminta giliran berbicara; tetapi diam-diam mereka berharap orang itu akan berhenti berbicara dengan sendirinya.
Pentingnya Kelompok bagi Para Anggotanya
Semakin penting para anggota memandang kelompoknya, akan semakin efektif kelompok itu. Yang paling ideal untuk kepentingan terapi adalah bila para pasien memandang pertemuan kelompok terapi itu sebagai peristiwa yang paling penting dalam kehidupanya setiap minggu. Terapis sebaiknya memperkuat keyakinan ini dengan berbagai cara.
Anggota sebagai Agen Bantuan
Kelompok berfungsi terbaik apabila para anggotanya saling menghargai bantuan yang dapat diberikan oleh masing-masing. Jika kelompok terus memandang terapis sebagai satu-satunya sumber bantuan, maka kelompok itu gagal mencapai tingkat otonomi yang optimal dan self-respect. Untuk memperkuat norma ini, terapis dapat menarik perhatian mereka pada insiden yang menunjukkan sikap saling membantu di kalangan para anggota. Terapis juga dapat mengajarkan cara yang paling efektif untuk saling membantu.
Dukungan
Sebagaimana sudah ditekankan pada bahasan tentang kohesivitas, sangat penting bahwa para anggota sebuah kelompok terapi untuk memandang kelompok sebagai lingkungan yang aman dan suportif. Akhirnya, dalam terapi berjangka panjang, banyak isu yang tidak menyenangkan harus dibicarakan dan dieksplorasi. Banyak pasien bermasalah dengan amarah atau arogansi atau merendahkan diri atau tidak peka atau sekedar gemar membantah. Kelompok terapi tidak dapat menawarkan bantuan tanpa kejadian seperti ini muncul dalam interaksi para anggotanya.
PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK
PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK
Kajian tentang faktor-faktor terapeutik dalam terapi kelompok diawali dengan rasional bahwa gambaran tentang faktor-faktor ini akan mengarah pada pengembangan panduan yang sistematik bagi para terapis dalam menentukan taktik dan strategi yang akan dipergunakannya. Paparan tentang faktor-faktor terapeutik pada Bab 1 bersifat komprehensif tetapi tidak dalam bentuk yang dapat diaplikasikan secara klinis. Penyebabnya adalah demi kejelasan, faktor-faktor tersebut disajikan sebagai entitas yang terpisah-pisah, padahal sesungguhnya mereka saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.
Pentingnya berbagai faktor terapeutik tersebut tergantung pada jenis terapi kelompok yang dipraktekkan. Kelompok-kelompok dengan populasi klinis yang berbeda-beda dan tujuan terapi yang bervariasi (misalnya kelompok pasien rawat jalan jangka panjang, kelompok pasien rawat inap, kelompok berobat jalan, kelompok pembentukan perilaku) mungkin akan menekankan rumpun factor terapeutik yang berbeda. Faktor-faktor terapeutik tertentu penting pada tahap tertentu, sedangkan factor lainnya menonjol pada tahap yang berbeda. Bahkan dalam kelompok yang sama, pasien yang berbeda mungkin mendapatkan faedah dari factor terapeutik yang berbeda pula, tergantung pada kebutuhannya, keterampilan sosialnya, struktur karakternya.
Faktor-faktor tertentu tidak selalu merupakan mekanisme perubahan yang independent melainkan berfungsi sebagai persyaratan untuk perubahan. Misalnya, “instillation of hope” dapat berfungsi terutama untuk mencegah mudah patah semangat dan untuk mempertahankan pasien di dalam kelompok hingga kekuatan lain yang lebih besar mengambil perannya. kohesivitas, yaitu perasaan menjadi anggota kelompok yang bermakna, bagi pasien-pasien tertentu, mungkin merupakan kendaraan utama untuk mencapai perubahan; sedangkan bagi pasien lainnya, kohesivitas penting untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan yang memungkinkannya mengeksplorasi dirinya sendiri, mendapatkan umpan balik interpersonal, dan bereksperimen dengan perilaku baru.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa potensi komparatif dari factor-faktor terapeutik itu merupakan pertanyaan yang kompleks. Faktor yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda bagi kelompok terapi yang berbeda, bagi kelompok yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda, dan bagi pasien yang berbeda dalam satu kelompok yang sama, tergantung pada kebutuhan dan kekuatan masing-masing individu. Namun demikian, secara keseluruhan, sebagian besar bukti penelitian menunjukkan bahwa interaksi interpersonal dan eksplorasi (yang mencakup catharsis dan pemahaman diri) dan group kohesivitas merupakan hasil dari terapi kelompok jangka panjang yang efektif, dan terapis kelompok yang efektif harus mengarahkan upayanya pada pengembangan sumber-sumber daya terapeutik ini secara maksimal.
Kajian tentang faktor-faktor terapeutik dalam terapi kelompok diawali dengan rasional bahwa gambaran tentang faktor-faktor ini akan mengarah pada pengembangan panduan yang sistematik bagi para terapis dalam menentukan taktik dan strategi yang akan dipergunakannya. Paparan tentang faktor-faktor terapeutik pada Bab 1 bersifat komprehensif tetapi tidak dalam bentuk yang dapat diaplikasikan secara klinis. Penyebabnya adalah demi kejelasan, faktor-faktor tersebut disajikan sebagai entitas yang terpisah-pisah, padahal sesungguhnya mereka saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.
Pentingnya berbagai faktor terapeutik tersebut tergantung pada jenis terapi kelompok yang dipraktekkan. Kelompok-kelompok dengan populasi klinis yang berbeda-beda dan tujuan terapi yang bervariasi (misalnya kelompok pasien rawat jalan jangka panjang, kelompok pasien rawat inap, kelompok berobat jalan, kelompok pembentukan perilaku) mungkin akan menekankan rumpun factor terapeutik yang berbeda. Faktor-faktor terapeutik tertentu penting pada tahap tertentu, sedangkan factor lainnya menonjol pada tahap yang berbeda. Bahkan dalam kelompok yang sama, pasien yang berbeda mungkin mendapatkan faedah dari factor terapeutik yang berbeda pula, tergantung pada kebutuhannya, keterampilan sosialnya, struktur karakternya.
Faktor-faktor tertentu tidak selalu merupakan mekanisme perubahan yang independent melainkan berfungsi sebagai persyaratan untuk perubahan. Misalnya, “instillation of hope” dapat berfungsi terutama untuk mencegah mudah patah semangat dan untuk mempertahankan pasien di dalam kelompok hingga kekuatan lain yang lebih besar mengambil perannya. kohesivitas, yaitu perasaan menjadi anggota kelompok yang bermakna, bagi pasien-pasien tertentu, mungkin merupakan kendaraan utama untuk mencapai perubahan; sedangkan bagi pasien lainnya, kohesivitas penting untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan yang memungkinkannya mengeksplorasi dirinya sendiri, mendapatkan umpan balik interpersonal, dan bereksperimen dengan perilaku baru.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa potensi komparatif dari factor-faktor terapeutik itu merupakan pertanyaan yang kompleks. Faktor yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda bagi kelompok terapi yang berbeda, bagi kelompok yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda, dan bagi pasien yang berbeda dalam satu kelompok yang sama, tergantung pada kebutuhan dan kekuatan masing-masing individu. Namun demikian, secara keseluruhan, sebagian besar bukti penelitian menunjukkan bahwa interaksi interpersonal dan eksplorasi (yang mencakup catharsis dan pemahaman diri) dan group kohesivitas merupakan hasil dari terapi kelompok jangka panjang yang efektif, dan terapis kelompok yang efektif harus mengarahkan upayanya pada pengembangan sumber-sumber daya terapeutik ini secara maksimal.
KOHESIVITAS KELOMPOK
KOHESIVITAS KELOMPOK
Diawali dengan hipotesis bahwa kohesivitas dalam terapi kelompok adalah analog dari "relationship" dalam terapi individual, bab ini membahas bukti-bukti yang mendukung kohesivitas kelompok sebagai satu faktor terapeutik dan berbagai hal yang dipengaruhi oleh kohesivitas kelompok. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan.
Jelas bahwa analog terapi kelompok dengan hubungan pasien-terapis dalam terapi individual merupakan satu konsep yang lebih luas: hubungan ini harus mencakup hubungan pasien tidak hanya dengan terapis kelompok tetapi juga dengan anggota-anggota kelompok lainnya dan dengan kelompoknya secara keseluruhan. Dalam buku ini, “cohesiveness” didefinisikan secara luas sebagai akibat dari semua kekuatan yang mempengaruhi semua anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok, atau secara lebih sederhana, daya tarik kelompok bagi semua anggotanya.
Anggota-anggota sebuah kelompok yang kohesif saling menerima, saling mendukung, dan cenderung menjalin hubungan yang bermakna dalam kelompok. Kohesivitas tampaknya merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan keberhasilan terapi kelompok. Dalam kondisi penerimaan dan pengertian, pasien akan lebih cenderung mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya sendiri, menyadari dan mengintegrasikan aspek-aspek self yang hingga saat itu tidak dapat diterimanya, dan berhubungan secara lebih mendalam dengan orang lain. Harga diri (self-esteem) sangat dipengaruhi oleh peranan pasien di dalam kelompok yang kohesif. Perilaku sosial yang dihargai oleh anggota-anggota kelompok adalah yang adaptif sosial bagi individu di luar kelompok.
Di samping itu, kelompok yang tingkat kohesinya tinggi adalah kelompok yang lebih stabil dengan tingkat kehadiran yang lebih baik dan tingkat terminasi yang lebih kecil. Bukti penelitian mengindikasikan bahwa stabilitas ini vital bagi keberhasilan terapi: terminasi dini mencegah diperolehnya keuntungan oleh pasien yang bersangkutan dan menghambat kemajuan anggota-anggota lainnya juga. Kohesivitas lebih memungkinkan terjadinya pembukaan diri (self-disclosure), pengambilan resiko, dan ekspresi konflik yang konstruktif dalam kelompok – fenomena yang memfasilitasi keberhasilan terapi.
Diawali dengan hipotesis bahwa kohesivitas dalam terapi kelompok adalah analog dari "relationship" dalam terapi individual, bab ini membahas bukti-bukti yang mendukung kohesivitas kelompok sebagai satu faktor terapeutik dan berbagai hal yang dipengaruhi oleh kohesivitas kelompok. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan.
Jelas bahwa analog terapi kelompok dengan hubungan pasien-terapis dalam terapi individual merupakan satu konsep yang lebih luas: hubungan ini harus mencakup hubungan pasien tidak hanya dengan terapis kelompok tetapi juga dengan anggota-anggota kelompok lainnya dan dengan kelompoknya secara keseluruhan. Dalam buku ini, “cohesiveness” didefinisikan secara luas sebagai akibat dari semua kekuatan yang mempengaruhi semua anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok, atau secara lebih sederhana, daya tarik kelompok bagi semua anggotanya.
Anggota-anggota sebuah kelompok yang kohesif saling menerima, saling mendukung, dan cenderung menjalin hubungan yang bermakna dalam kelompok. Kohesivitas tampaknya merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan keberhasilan terapi kelompok. Dalam kondisi penerimaan dan pengertian, pasien akan lebih cenderung mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya sendiri, menyadari dan mengintegrasikan aspek-aspek self yang hingga saat itu tidak dapat diterimanya, dan berhubungan secara lebih mendalam dengan orang lain. Harga diri (self-esteem) sangat dipengaruhi oleh peranan pasien di dalam kelompok yang kohesif. Perilaku sosial yang dihargai oleh anggota-anggota kelompok adalah yang adaptif sosial bagi individu di luar kelompok.
Di samping itu, kelompok yang tingkat kohesinya tinggi adalah kelompok yang lebih stabil dengan tingkat kehadiran yang lebih baik dan tingkat terminasi yang lebih kecil. Bukti penelitian mengindikasikan bahwa stabilitas ini vital bagi keberhasilan terapi: terminasi dini mencegah diperolehnya keuntungan oleh pasien yang bersangkutan dan menghambat kemajuan anggota-anggota lainnya juga. Kohesivitas lebih memungkinkan terjadinya pembukaan diri (self-disclosure), pengambilan resiko, dan ekspresi konflik yang konstruktif dalam kelompok – fenomena yang memfasilitasi keberhasilan terapi.
INTERPERSONAL LEARNING
INTERPERSONAL LEARNING
Belajar interpersonal (interpersonal learning), sebagaimana didefinisikan oleh Yalom, merupakan faktor terapeutik yang luas dan kompleks, yang mengandung faktor-faktor terapeutik dalam terapi individual seperti insight, bekerja melalui transferensi, dan pengalaman emosional korektif, maupun proses-proses yang khas dalam setting terapi kelompok. Untuk mendefinisikan konsep interpersonal learning dan untuk mendeskripsikan mekanisme perubahan terapeutik yang dimediasikan oleh konsep ini pada individu, perlu dibahas terlebih dahulu tiga konsep lain yaitu:
1. Pentingnya hubungan interpersonal,
2. Pengalaman emosional korektif,
3. Kelompok sebagai social microcosm.
Pentingnya Hubungan Interpersonal
Dari perspektif apa pun kita mempelajari masyarakat manusia, kita mendapatkan bahwa hubungan interpersonal memainkan peranan yang sangat penting. Apakah kita mempelajari sejarah evolusi kemanusiaan ataupun meneliti perkembangan individu, kita harus selalu memandang umat manusia dalam matrix hubungan interpersonalnya. Terdapat data yang meyakinkan dari berbagai penelitian tentang budaya manusia primitif dan primata nonmanusia bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok yang ditandai oleh hubungan yang kuat di antara para anggotanya. Perilaku interpersonal selalu adaptif terhadap berbagai situasi, dan tanpa hubungan interpersonal yang kuat, positif dan timbal balik, individu maupun spesies manusia tidak akan dapat bertahan hidup.
Pengalaman Emosional Korektif
Pengelaman emosional korektif dalam terapi kelompok mempunyai beberapa komponen:
1. Ekspresi emosi yang kuat yang diarahkan secara interpersonal dan kurang dipandang sebagai resiko oleh pasien;
2. Kelompok cukup suportif untuk memungkinkan pengambilan resiko ini;
3. Uji realita yang memungkinkan pasien untuk menelaah insiden itu dengan bantuan validitas konsensus dari pasien-pasien lain;
4. Mengenali ketidaktepatan perasaan dan perilaku interpersonal tertentu mengenali ketidaktepatan menghindari perilaku interpersonal tertentu;
5. Fasilitasi kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam dan jujur.
Kelompok sebagai Social Microcosm
Jenis kaca mata konseptual apa pun yang dipergunakan oleh terapis atau observer, gaya interpersonal setiap pasien akhirnya akan tampak dalam transaksinya dalam kelompok. Gaya-gaya tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menimbulkan friksi interpersonal dan akan termanifestasi dengan sendirinya dalam kelompok secara lebih cepat daripada gaya-gaya lainnya. Misalnya, individu yang pemarah, pendendam, kasar, tidak menonjolkan diri, atau selalu menonjolkan diri, akan cepat terlihat dalam kehidupan kelompok. Pola hubungan sosial yang maladaptif akan tampak jelas secara jauh lebih cepat daripada pola-pola hubungan sosial dari individu yang secara halus mengeksploitasi orang lain atau mencapai keintiman hingga titik tertentu tetapi kemudian menarik diri karena menjadi merasa takut. Tahap awal terapi kelompok biasanya diarahkan untuk menangani pasien yang patologinya paling mencolok secara interpersonal. Gaya interpersonal tertentu menjadi sangat jelas dari satu transaksi, gaya lainnya dari satu pertemuan kelompok, tetapi ada pula yang membutuhkan observasi beberapa bulan untuk memahaminya. Pengembangan kemampuan mengidentifikasi perilaku interpersonal adaptif dalam mikrokosme sosial dan memanfaatkannya untuk keperluan terapi merupakan salah satu tujuan penting dari program pelatihan bagi terapis.
Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
1. Simtomatologi psikiatrik berasal dari hubungan interpersonal yang terganggu. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan.
2. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien.
3. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi parataksiknya, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu.
4. Terjadi rangkaian peristiwa interpersonal yang teratur:
a. Tayangan patologi – pasien memperlihatkan perilakunya.
b. Melalui umpan balik dan observasi diri, pasien
(1) Menjadi pengamat yang lebih baik terhadap perilakunya sendiri;
(2) Memahami dampak perilaku tersebut terhadap
(a) Perasaan orang lain;
(b) Pendapat orang lain tentang dirinya;
(c) Pendapat dirinya tentang dirinya sendiri.
5. Pasien yang sudah sepenuhnya menyadari rangkaian ini juga menjadi sadar akan tanggung jawab pribadi untuknya: setiap individu merupakan pengarang dunia pribadinya sendiri.
6. Individu yang sepenuhnya menerima tanggung jawab pribadi untuk dunia interpersonal tersebut juga akan menerima segala akibat dari temuannya itu, bahwa sang pencipta dunia inilah yang mampu mengubahnya.
7. Kedalaman dan kebermaknaan kesadaran ini langsung proporsional dengan kadar dampak yang terkait dengan rangkaian tersebut. Semakin riil dan semakin emosional suatu pengalaman, akan semakin kuat juga dampaknya; semakin objektif dan semakin intelektual pengalaman itu, akan semakin kecil efektivitas belajar itu.
8. Sebagai akibat dari kesadaran ini, pasien lambat laun berubah dengan mengambil resiko untuk menciptakan cara-cara baru dalam berhubungan dengan orang lain. Kemungkinan bahwa perubahan itu akan terjadi merupakan fungsi dari:
a. Motivasi pasien untuk berubah dan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pribadi terhadap bentuk perilaku saat ini;
b. Keterlibatan pasien dalam kelompok – yaitu seberapa banyak pasien membiarkan kelompok untuk mempersoalkanya;
c. Kekakuan struktur karakter dan gaya personal pasien.
9. Perubahan perilaku dapat membangkitkan satu siklus baru interpersonal learning melalui observasi diri dan umpan balik dari orang lain.
10. Konsep social microcosm ini dua arah: tidak hanya perilaku luar yang termanifestasikan dalam kelompok, tetapi perilaku yang dipelajari dalam kelompok juga akhirnya terbawa ke dalam lingkungan sosial pasien dan perubahan akan muncul dalam perilaku interpersonalnya di luar kelompok.
11. Lambat laun suatu spiral adaptif terjadi, mula-mula di dalam dan kemudian di luar kelompok. Jika distorsi interpersonal orang itu berkurang, maka kemampuannya untuk menjalin hubungan yang menguntungkan pun bertambah. Kecemasan sosial berkurang; harga diri meningkat; kecenderungan untuk menyembunyikan diri semakin berkurang; orang lain merespon secara positif terhadap perilaku ini dan semakin banyak menunjukkan persetujuan dan penerimaan terhadap pasien, yang selanjutnya lebih meningkatkan lagi harga diri dan memicu lebih banyak perubahan. Akhirnya spiral adaptif itu mencapai tingkat otonomi dan efikasi sedemikian rupa sehingga terapi profesional tidak dibutuhkannya lagi.
Transference dan Insight
Transferensi dan wawasan memainkan dua peranan sentral dalam sebagian besar formulasi proses terapi. Transferensi adalah suatu bentuk distorsi persepsi interpersonal.
Wawasan tidak dapat dideskripsikan secara tepat ; dia bukan sebuah konsep kesatuan. Secara umum, insight dapat diartikan sebagai “melihat ke dalam": suatu proses yang mencakup klarifikasi, penjelasan, dan derepresi. Insight terjadi bila orang menemukan sesuatu yang penting tentang dirinya sendiri – tentang perilakunya, sistem motivasinya, atau ketidaksadarannya.
Dalam proses terapi kelompok, pasien dapat memperoleh insight sekurang-kurangnya pada empat level:
1. Pasien mungkin memperoleh perspektif yang lebih objektif tentang presentasi interpersonalnya.
2. Pasien mungkin memperoleh pemahaman tentang pola perilakunya yang lebih kompleks dengan orang lain.
3. Level ketiga dapat disebut dengan istilah motivational insight. Pada level ini, pasien mungkin memahami mengapa mereka melakukan apa yang dilakukannya terhadap dan dengan orang lain.
4. Insight level keempat, yaitu genetic insight, berusaha membantu pasien memahami bagaimana mereka menjadi dirinya saat ini. Melalui eksplorasi terhadap sejarah perkembangan pribadinya, pasien memahami asal-usul pola perilakunya saat ini.
Belajar interpersonal (interpersonal learning), sebagaimana didefinisikan oleh Yalom, merupakan faktor terapeutik yang luas dan kompleks, yang mengandung faktor-faktor terapeutik dalam terapi individual seperti insight, bekerja melalui transferensi, dan pengalaman emosional korektif, maupun proses-proses yang khas dalam setting terapi kelompok. Untuk mendefinisikan konsep interpersonal learning dan untuk mendeskripsikan mekanisme perubahan terapeutik yang dimediasikan oleh konsep ini pada individu, perlu dibahas terlebih dahulu tiga konsep lain yaitu:
1. Pentingnya hubungan interpersonal,
2. Pengalaman emosional korektif,
3. Kelompok sebagai social microcosm.
Pentingnya Hubungan Interpersonal
Dari perspektif apa pun kita mempelajari masyarakat manusia, kita mendapatkan bahwa hubungan interpersonal memainkan peranan yang sangat penting. Apakah kita mempelajari sejarah evolusi kemanusiaan ataupun meneliti perkembangan individu, kita harus selalu memandang umat manusia dalam matrix hubungan interpersonalnya. Terdapat data yang meyakinkan dari berbagai penelitian tentang budaya manusia primitif dan primata nonmanusia bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok yang ditandai oleh hubungan yang kuat di antara para anggotanya. Perilaku interpersonal selalu adaptif terhadap berbagai situasi, dan tanpa hubungan interpersonal yang kuat, positif dan timbal balik, individu maupun spesies manusia tidak akan dapat bertahan hidup.
Pengalaman Emosional Korektif
Pengelaman emosional korektif dalam terapi kelompok mempunyai beberapa komponen:
1. Ekspresi emosi yang kuat yang diarahkan secara interpersonal dan kurang dipandang sebagai resiko oleh pasien;
2. Kelompok cukup suportif untuk memungkinkan pengambilan resiko ini;
3. Uji realita yang memungkinkan pasien untuk menelaah insiden itu dengan bantuan validitas konsensus dari pasien-pasien lain;
4. Mengenali ketidaktepatan perasaan dan perilaku interpersonal tertentu mengenali ketidaktepatan menghindari perilaku interpersonal tertentu;
5. Fasilitasi kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam dan jujur.
Kelompok sebagai Social Microcosm
Jenis kaca mata konseptual apa pun yang dipergunakan oleh terapis atau observer, gaya interpersonal setiap pasien akhirnya akan tampak dalam transaksinya dalam kelompok. Gaya-gaya tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menimbulkan friksi interpersonal dan akan termanifestasi dengan sendirinya dalam kelompok secara lebih cepat daripada gaya-gaya lainnya. Misalnya, individu yang pemarah, pendendam, kasar, tidak menonjolkan diri, atau selalu menonjolkan diri, akan cepat terlihat dalam kehidupan kelompok. Pola hubungan sosial yang maladaptif akan tampak jelas secara jauh lebih cepat daripada pola-pola hubungan sosial dari individu yang secara halus mengeksploitasi orang lain atau mencapai keintiman hingga titik tertentu tetapi kemudian menarik diri karena menjadi merasa takut. Tahap awal terapi kelompok biasanya diarahkan untuk menangani pasien yang patologinya paling mencolok secara interpersonal. Gaya interpersonal tertentu menjadi sangat jelas dari satu transaksi, gaya lainnya dari satu pertemuan kelompok, tetapi ada pula yang membutuhkan observasi beberapa bulan untuk memahaminya. Pengembangan kemampuan mengidentifikasi perilaku interpersonal adaptif dalam mikrokosme sosial dan memanfaatkannya untuk keperluan terapi merupakan salah satu tujuan penting dari program pelatihan bagi terapis.
Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
1. Simtomatologi psikiatrik berasal dari hubungan interpersonal yang terganggu. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan.
2. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien.
3. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi parataksiknya, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu.
4. Terjadi rangkaian peristiwa interpersonal yang teratur:
a. Tayangan patologi – pasien memperlihatkan perilakunya.
b. Melalui umpan balik dan observasi diri, pasien
(1) Menjadi pengamat yang lebih baik terhadap perilakunya sendiri;
(2) Memahami dampak perilaku tersebut terhadap
(a) Perasaan orang lain;
(b) Pendapat orang lain tentang dirinya;
(c) Pendapat dirinya tentang dirinya sendiri.
5. Pasien yang sudah sepenuhnya menyadari rangkaian ini juga menjadi sadar akan tanggung jawab pribadi untuknya: setiap individu merupakan pengarang dunia pribadinya sendiri.
6. Individu yang sepenuhnya menerima tanggung jawab pribadi untuk dunia interpersonal tersebut juga akan menerima segala akibat dari temuannya itu, bahwa sang pencipta dunia inilah yang mampu mengubahnya.
7. Kedalaman dan kebermaknaan kesadaran ini langsung proporsional dengan kadar dampak yang terkait dengan rangkaian tersebut. Semakin riil dan semakin emosional suatu pengalaman, akan semakin kuat juga dampaknya; semakin objektif dan semakin intelektual pengalaman itu, akan semakin kecil efektivitas belajar itu.
8. Sebagai akibat dari kesadaran ini, pasien lambat laun berubah dengan mengambil resiko untuk menciptakan cara-cara baru dalam berhubungan dengan orang lain. Kemungkinan bahwa perubahan itu akan terjadi merupakan fungsi dari:
a. Motivasi pasien untuk berubah dan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pribadi terhadap bentuk perilaku saat ini;
b. Keterlibatan pasien dalam kelompok – yaitu seberapa banyak pasien membiarkan kelompok untuk mempersoalkanya;
c. Kekakuan struktur karakter dan gaya personal pasien.
9. Perubahan perilaku dapat membangkitkan satu siklus baru interpersonal learning melalui observasi diri dan umpan balik dari orang lain.
10. Konsep social microcosm ini dua arah: tidak hanya perilaku luar yang termanifestasikan dalam kelompok, tetapi perilaku yang dipelajari dalam kelompok juga akhirnya terbawa ke dalam lingkungan sosial pasien dan perubahan akan muncul dalam perilaku interpersonalnya di luar kelompok.
11. Lambat laun suatu spiral adaptif terjadi, mula-mula di dalam dan kemudian di luar kelompok. Jika distorsi interpersonal orang itu berkurang, maka kemampuannya untuk menjalin hubungan yang menguntungkan pun bertambah. Kecemasan sosial berkurang; harga diri meningkat; kecenderungan untuk menyembunyikan diri semakin berkurang; orang lain merespon secara positif terhadap perilaku ini dan semakin banyak menunjukkan persetujuan dan penerimaan terhadap pasien, yang selanjutnya lebih meningkatkan lagi harga diri dan memicu lebih banyak perubahan. Akhirnya spiral adaptif itu mencapai tingkat otonomi dan efikasi sedemikian rupa sehingga terapi profesional tidak dibutuhkannya lagi.
Transference dan Insight
Transferensi dan wawasan memainkan dua peranan sentral dalam sebagian besar formulasi proses terapi. Transferensi adalah suatu bentuk distorsi persepsi interpersonal.
Wawasan tidak dapat dideskripsikan secara tepat ; dia bukan sebuah konsep kesatuan. Secara umum, insight dapat diartikan sebagai “melihat ke dalam": suatu proses yang mencakup klarifikasi, penjelasan, dan derepresi. Insight terjadi bila orang menemukan sesuatu yang penting tentang dirinya sendiri – tentang perilakunya, sistem motivasinya, atau ketidaksadarannya.
Dalam proses terapi kelompok, pasien dapat memperoleh insight sekurang-kurangnya pada empat level:
1. Pasien mungkin memperoleh perspektif yang lebih objektif tentang presentasi interpersonalnya.
2. Pasien mungkin memperoleh pemahaman tentang pola perilakunya yang lebih kompleks dengan orang lain.
3. Level ketiga dapat disebut dengan istilah motivational insight. Pada level ini, pasien mungkin memahami mengapa mereka melakukan apa yang dilakukannya terhadap dan dengan orang lain.
4. Insight level keempat, yaitu genetic insight, berusaha membantu pasien memahami bagaimana mereka menjadi dirinya saat ini. Melalui eksplorasi terhadap sejarah perkembangan pribadinya, pasien memahami asal-usul pola perilakunya saat ini.
FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK
FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK
Yalom mengidentifikasi 11 faktor terapeutik dalam terapi kelompok sebagai berikut:
1) Membangkitkan harapan (instillation of hope),
2) Universalitas (universality),
3) Penyampaian informasi (imparting of information),
4) Altruism,
5) Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primber (the corrective recapitulation of the primary family group),
6) Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques),
7) Perilaku imitatif (imitative behavior),
8) Belajar interpersonal (interpersonal learning),
9) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness),
10) Perasaan lega (catharsis), dan
11) Faktor-faktor eksistensial (existential factors).
Membangkitkan Harapan
Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi: harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tingginya ekspektasi terhadap bantuan sebelum terapi dilakukan itu berkorelasi signifikan dengan hasil positif dari terapi.
Universalitas
Perasaan keunikan seorang pasien sering dipertinggi oleh isolasi sosial; karena adanya kesulitan interpersonal, kesempatan untuk mendapatkan validasi yang jujur dan tulus dalam hubungan intim sering tidak didapatkan oleh pasien. Dalam terapi kelompok, terutama pada tahap-tahap awal, diskonfirmasi perasaan unik pada pasien merupakan sumber yang sangat baik untuk menciptakan perasaan lega. Sesudah mendengar pasien lain membeberkan keprihatinan yang serupa dengan keprihatinannya sendiri, para pasien melaporkan bahwa mereka merasa lebih dekat dengan dunia dan merasa menjadi bagian dari ras manusia. Tidak ada perbuatan atau pikiran manusia yang sepenuhnya berada di luar pengalaman orang lain.
Meskipun permasalahan manusia itu kompleks, tetapi terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu dan para anggota sebuah terapi kelompok tidak membutuhkan waktu lama untuk mempersepsi adanya kesamaan itu.
Penyampaian Informasi (Pembelajaran)
Kebanyakan pasien, setelah menamatkan terapi kelompok interaksional secara berhasil merasa sudah belajar banyak tentang keberfungsian psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi. Akan tetapi, proses pembelajaran ini bersifat implisit; terapis kelompok tidak memberikan pengajaran yang eksplisit dalam terapi kelompok interaksional. Meskipun demikian, ada juga pendekatan psikoterapi kelompok di mana pengajaran formal merupakan bagian penting dari programnya.
Pendekatan didaktik dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan dalam terapi kelompok seperti: untuk mentransfer informasi, membentuk kelompok, menjelaskan proses penyakit. Sering kali pembelajaran seperti ini berfungsi sebagai kekuatan pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lainnya beroperasi. Di samping itu, penjelasan dan klarifikasi merupakan faktor yang berfungsi sebagai agen terapi yang efektif.
Altruisme
Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien psikiatrik yang baru memulai terapi kehilangan semangat hidup dan memiliki perasaan tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk ditawarkan kepada orang lain. Mereka telah lama memandang dirinya sebagai beban, dan pengalaman bahwa mereka ternyata dapat dianggap penting orang lain itu akan menyegarkan jiwanya dan mempertinggi rasa harga dirinya.
Para anggota sebuah kelompok terapi memang saling membantu, saling memberikan saran, dukungan, pengertian, dan merasa senasib. Tidak jarang seorang pasien akan lebih mendengarkan dan menyerap hasil pengamatan dari pasien lainnya daripada terapis. Bagi banyak pasien, terapis tetap dipandang sebagai profesional yang dibayar, tetapi pasien-pasien lain dapat diandalkan sebagai pemberi reaksi dan umpan balik yang jujur dan spontan.
Rekapitulasi Korektif Kelompok Keluarga Primer
Tanpa kekecualian, pasien memasuki terapi kelompok dengan riwayat pengalaman yang sangat tidak memuaskan dengan kelompok primernya yaitu keluarga. Dalam banyak aspek, kelompok terapi ini menyerupai keluarga, dan banyak kelompok dipimpin oleh tim terapi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin menyerupai orang tua dalam keluarga. Pasien diharapkan berinteraksi dengan pimpinan kelompok serta anggota-anggota kelompok lainnya seperti berinteraksi dengan orang tua dan saudara. Terdapat berbagai macam pola hubungan: tak berdaya dan sangat bergantung pada pimpinan yang dipandangnya sebagai sangat berpengetahuan dan berkuasa; selalu membangkang pimpinan kelompok yang dipandangnya sebagai merintangi pertumbuhan kemandiriannya atau merampas individualitasnya; mencoba memecah belah ko-terapis dan menanamkan perselisihan dan persaingan di antara mereka; persaingan sengit dengan pasien lain dalam upaya merebut perhatian terapis; berusaha menggalang persekutuan dengan pasien lain untuk menjatuhkan terapis; atau mengabaikan kepentingannya sendiri untuk menyenangkan anggota-anggota lain.
Pengembangan Teknik Sosialisasi
Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi.
Perilaku Imitatif
Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasian dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya bercakap-cakap; atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya; atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akura
Yalom mengidentifikasi 11 faktor terapeutik dalam terapi kelompok sebagai berikut:
1) Membangkitkan harapan (instillation of hope),
2) Universalitas (universality),
3) Penyampaian informasi (imparting of information),
4) Altruism,
5) Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primber (the corrective recapitulation of the primary family group),
6) Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques),
7) Perilaku imitatif (imitative behavior),
8) Belajar interpersonal (interpersonal learning),
9) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness),
10) Perasaan lega (catharsis), dan
11) Faktor-faktor eksistensial (existential factors).
Membangkitkan Harapan
Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi: harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tingginya ekspektasi terhadap bantuan sebelum terapi dilakukan itu berkorelasi signifikan dengan hasil positif dari terapi.
Universalitas
Perasaan keunikan seorang pasien sering dipertinggi oleh isolasi sosial; karena adanya kesulitan interpersonal, kesempatan untuk mendapatkan validasi yang jujur dan tulus dalam hubungan intim sering tidak didapatkan oleh pasien. Dalam terapi kelompok, terutama pada tahap-tahap awal, diskonfirmasi perasaan unik pada pasien merupakan sumber yang sangat baik untuk menciptakan perasaan lega. Sesudah mendengar pasien lain membeberkan keprihatinan yang serupa dengan keprihatinannya sendiri, para pasien melaporkan bahwa mereka merasa lebih dekat dengan dunia dan merasa menjadi bagian dari ras manusia. Tidak ada perbuatan atau pikiran manusia yang sepenuhnya berada di luar pengalaman orang lain.
Meskipun permasalahan manusia itu kompleks, tetapi terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu dan para anggota sebuah terapi kelompok tidak membutuhkan waktu lama untuk mempersepsi adanya kesamaan itu.
Penyampaian Informasi (Pembelajaran)
Kebanyakan pasien, setelah menamatkan terapi kelompok interaksional secara berhasil merasa sudah belajar banyak tentang keberfungsian psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi. Akan tetapi, proses pembelajaran ini bersifat implisit; terapis kelompok tidak memberikan pengajaran yang eksplisit dalam terapi kelompok interaksional. Meskipun demikian, ada juga pendekatan psikoterapi kelompok di mana pengajaran formal merupakan bagian penting dari programnya.
Pendekatan didaktik dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan dalam terapi kelompok seperti: untuk mentransfer informasi, membentuk kelompok, menjelaskan proses penyakit. Sering kali pembelajaran seperti ini berfungsi sebagai kekuatan pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lainnya beroperasi. Di samping itu, penjelasan dan klarifikasi merupakan faktor yang berfungsi sebagai agen terapi yang efektif.
Altruisme
Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien psikiatrik yang baru memulai terapi kehilangan semangat hidup dan memiliki perasaan tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk ditawarkan kepada orang lain. Mereka telah lama memandang dirinya sebagai beban, dan pengalaman bahwa mereka ternyata dapat dianggap penting orang lain itu akan menyegarkan jiwanya dan mempertinggi rasa harga dirinya.
Para anggota sebuah kelompok terapi memang saling membantu, saling memberikan saran, dukungan, pengertian, dan merasa senasib. Tidak jarang seorang pasien akan lebih mendengarkan dan menyerap hasil pengamatan dari pasien lainnya daripada terapis. Bagi banyak pasien, terapis tetap dipandang sebagai profesional yang dibayar, tetapi pasien-pasien lain dapat diandalkan sebagai pemberi reaksi dan umpan balik yang jujur dan spontan.
Rekapitulasi Korektif Kelompok Keluarga Primer
Tanpa kekecualian, pasien memasuki terapi kelompok dengan riwayat pengalaman yang sangat tidak memuaskan dengan kelompok primernya yaitu keluarga. Dalam banyak aspek, kelompok terapi ini menyerupai keluarga, dan banyak kelompok dipimpin oleh tim terapi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin menyerupai orang tua dalam keluarga. Pasien diharapkan berinteraksi dengan pimpinan kelompok serta anggota-anggota kelompok lainnya seperti berinteraksi dengan orang tua dan saudara. Terdapat berbagai macam pola hubungan: tak berdaya dan sangat bergantung pada pimpinan yang dipandangnya sebagai sangat berpengetahuan dan berkuasa; selalu membangkang pimpinan kelompok yang dipandangnya sebagai merintangi pertumbuhan kemandiriannya atau merampas individualitasnya; mencoba memecah belah ko-terapis dan menanamkan perselisihan dan persaingan di antara mereka; persaingan sengit dengan pasien lain dalam upaya merebut perhatian terapis; berusaha menggalang persekutuan dengan pasien lain untuk menjatuhkan terapis; atau mengabaikan kepentingannya sendiri untuk menyenangkan anggota-anggota lain.
Pengembangan Teknik Sosialisasi
Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi.
Perilaku Imitatif
Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasian dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya bercakap-cakap; atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya; atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akura
Psikoterapi
PENDAHULUAN
Psikoterapi merupakan salah satu
modalitas terapi yang terandalkan dalam tatalaksana pasien psikiatri disamping
psikofarmaka dan terapi fisik. Sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari,
prinsip-prinsip dan beberapa kaidah yang ada dalam psikoterapi ternyata juga
digunakan, antara lain dalam konseling, pendidikan dan pengajaran, atau
pun pemasaran.
Dalam praktek, psikoterapi
dilakukan dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat
mengubah pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam, dan hal ini
sering tidak kita sadari. Beberapa contohnya, antara lain seorang penakut,
dapat berubah menjadi berani, atau, dua orang yang saling bermusuhan satu sama
lain, kemudian dapat menjadi saling bermaafan, atau, seseorang yang sedih dapat
menjadi gembira setelah menjalani percakapan dengan seseorang yang
dipercayainya. Bila kita amati contoh-contoh itu, akan timbul pertanyaan,
apakah sebenarnya yang telah dilakukan terhadap mereka sehingga dapat terjadi
perubahan tersebut? Pada hakekatnya,
yang dilakukan ialah pembujukan atau persuasi. Caranya dapat bermacam-macam,
antara lain dengan memberi nasehat, memberi contoh, memberikan pengertian,
melakukan otoritas untuk mengajarkan sesuatu, memacu imajinasi, melatih,
dsb. Pembujukan ini dapat efektif asal
dilakukan pada saat yang tepat,
dengan cara yang tepat, oleh orang
yang mempunyai cukup pengalaman. Pada prinsipnya pembujukan ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dalam berbagai bidang, dan dapat dilakukan oleh banyak
orang.
Dalam
dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan hal yang
penting oleh karena percakapan atau pembicaraan merupakan hal yang selalu
terjadi diantara mereka. Komunikasi berlangsung dari saat perjumpaan pertama,
yaitu sewaktu diagnosis belum ditegakkan hingga saat akhir pemberian terapi.
Apa pun hasil pengobatan, berhasil atau pun tidak, dokter akan
mengkomunikasikannya dengan pasien atau keluarganya; hal itu pun dilakukan
melalui pembicaraan. Dalam keseluruhan proses tatalaksana pasien, hubungan
dokter-pasien merupakan hal yang penting dan sangat menentukan, dan untuk dapat
membentuk dan membina hubungan dokter-pasien
tersebut, seorang dokter dapat mempelajarinya melalui prinsip-prinsip
psikoterapi.
Sejak berabad yang lalu, para ahli
telah menyadari bahwa psikoterapi berperan penting pada penyembuhan
gangguan-gangguan pikiran dan perasaan, dan dokter berperan penting dalam hal
itu (A healer is a person to whom a
sufferer tells things; and out of his or her listening, the healer develops the
basis for therapeutic interventions. The good listener is the best physician
for those who are ill in thought and feeling). Oleh karena itu dahulu psikoterapi sering
disebut sebagai the talking cure.
Psikoterapi diterima sebagai ilmu dan ketrampilan tersendiri, sebagai
pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip the talking cure tersebut, oleh karena terdiri atas teknik-teknik
dan metode khusus yang dapat diajarkan dan dipelajari.
Mengapa
psikoterapi penting dipelajari? Psikoterapi merupakan alat yang dapat membantu
dan penting dipelajari khususnya oleh dokter dan para profesional lain yang
berperan dalam kesehatan dan kesehatan jiwa, namun perlu pula diingat bahwa
teknik dan metodenya yang tertentu dan bermacam-macam tersebut memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat dipelajari dan dipraktekkan dengan baik. Tentunya,
dengan hanya membaca buku ajar yang singkat ini tidaklah mungkin mencakup
keseluruhan hal mengenai psikoterapi, namun setidaknya prinsip-prinsip dasar
psikoterapi dapat dipahami, untuk dapat diaplikasikan dalam praktek
sehari-hari, sehingga dapat turut menunjang upaya peningkatan mutu pelayanan
kepada pasien.
Secara
non spesifik, psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; sebagai suatu
yang spesifik atau khusus, sebagaimana telah disebutkan di atas, psikoterapi
merupakan rangkaian teknik yang digunakan untuk mengubah perilaku (catatan:
teknik merupakan rangkaian tindakan yang dibakukan untuk mendapatkan perubahan
tertentu, bukan urutan perubahan alamiah, sehingga harus dilatih untuk mencapai
ketrampilan optimal). Dengan psikoterapi, seorang dokter akan dapat
memanfaatkan teknik-teknik untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapainya. Bila
seorang dokter tidak mengerti atau memahaminya, sebetulnya bukan hanya tidak
akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya dapat menghindarkan
hal-hal yang dapat merugikan pasiennya.
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN PSIKOTERAPI ?
Banyak
definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Antara lain yaitu bahwa psikoterapi
adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan
oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerjasama secara
profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau
menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. Definisi yang lain
yaitu bahwa psikoterapi adalah cara-cara atau pendekatan yang menggunakan
teknik-teknik psikologik untuk menghadapi ketidakserasian atau gangguan mental.
Psikoterapi
disebut sebagai pengobatan, karena merupakan suatu bentuk intervensi, dengan
berbagai macam cara dan metode - yang bersifat psikologik - untuk tujuan yang
telah disebutkan di atas, sehingga psikoterapi merupakan salah satu bentuk
terapi atau pengobatan disamping bentuk-bentuk lainnya dalam ilmu kedokteran
jiwa khususnya, dan ilmu kedokteran pada umumnya.
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, talking
cures telah digunakan orang sejak berabad yang lalu. Misalnya, Soranus dari
Ephesus, seorang dokter pada abad pertama Masehi, menggunakan percakapan atau
pembicaraan untuk pasien-pasiennya dan mengubah ide-ide yang irasional dari
pasien depresi. Kini, dalam terapi kognitif (salah satu jenis psikoterapi),
terapis menelusuri cara berpikir yang irasional pada pasien-pasien depresi dan
membimbing mereka agar kemudian dapat mengatasinya sendiri.
Bermula
dari Sigmund Freud, pada akhir abad ke-sembilanbelas, yang memaparkan teori
psikoanalisisnya, psikoterapi kian berkembang hingga kini. Teknik dan metode
yang dicetuskan oleh Freud dapat dikatakan merupakan dasar dari psikoterapi,
yang tampaknya, dalam praktek sehari-hari masih tetap digunakan sebagai dasar,
apa pun teori yang dianut atau menjadi landasan atau pegangan bagi seseorang
yang melakukan psikoterapi .
PRINSIP-PRINSIP UMUM PSIKOTERAPI
Seperti
telah disebutkan, psikoterapi dilakukan dengan cara percakapan atau wawancara (interview). Dalam suatu wawancara, tidak
dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis.
Biasanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengandung kedua aspek tersebut,
yaitu untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dengan pasien (sifat
terapeutik), dan untuk melengkapi data dalam usaha menegakkan diagnosis. Dalam
melakukan psikoterapi, wawancara harus lebih mengutamakan aspek terapeutiknya;
data yang diperlukan akan berangsur terkumpul dengan kian membaiknya hubungan
interpersonal yang terjalin antara dokter dengan pasiennya, sehingga
berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan
pasiennya tersebut.
Dalam
melakukan wawancara, hendaknya kita juga melakukan observasi secara
menyeluruh dengan teliti. Sambil mengajukan pertanyaan, kita juga mengamati dan
turut serta (sebagai participant
observer) dalam proses yang sedang berlangsung pada saat dan situasi
tersebut (“the here and now”). Yang
kita amati yaitu : (1). apa yang terjadi
pada pasien, (2). apa yang terjadi pada pewawancara atau terapis sendiri, serta
(3). apa yang terjadi di antara terapis dan pasiennya. Dalam berhadapan dengan
pasien, dokter atau terapis mempengaruhi pasien dengan sikap dan perkataannya,
dari menit ke menit, saat ke saat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan
sebetulnya bukan hanya (a).apa yang kita bicarakan, tetapi juga (b). bagaimana
cara kita melakukannya, (c). kapan (saat atau waktu yang tepat) kita
mengungkapkan hal tertentu yang ingin kita sampaikan, serta (d).bagaimana
hubungan antara si penolong (dokter atau terapis) dan yang ditolong (pasien)
tersebut. Hal-hal tersebut dapat membuat pasien menjadi lebih tenang atau
sebaliknya menjadi tegang, lebih terbuka atau tertutup, lebih percaya atau pun
curiga, sehingga dapat disimpulkan bahwa selalu ada pengaruh terapeutik maupun
kontraterapeutik, dan tidak pernah netral sama sekali, karena setiap orang mempunyai
latar belakang kepribadian dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, yang
mempengaruhi cara pandang, cara berpikir dan menghayati segala sesuatu.
Hal
yang sebaliknya juga perlu diingat, bahwa wawancara bukan hanya menghasilkan
pengaruh dokter atau terapis atas pasien, namun juga pengaruh pasien terhadap
dokternya. Sang dokter, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh sikap
dan perkataan pasien, yang akan
tercermin dalam sikap, perasaan dan perilakunya sendiri. Dipacu oleh sikap dan perilaku pasien
terhadapnya (ditambah lagi dengan kehidupan fantasinya sendiri), dokter atau terapis dapat
menjadi tenang, tegang,
santai, kuatir, terbuka, tertutup, bosan, sedih, kesal, malu,
terangsang, dll.; perasaan-perasaan
tersebut turut menentukan
apa yang dikatakannya kepada pasien (atau tidak dikatakannya) dan bagaimana
ia mengatakannya. Untuk dapat
mengatasi hal ini seorang dokter atau terapis perlu belajar
untuk memantau perasaan-perasaan reaktifnya tersebut, agar ucapan-ucapan
dan sikapnya terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sedikit
mungkin tercampur dengan
unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektifnya
sendiri.
Agar
tujuan terapeutik tercapai, hendaknya senantiasa diusahakan agar dokter dapat menciptakan dan memelihara hubungan
yang optimal antara dokter dan pasien. Dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, senantiasa harus
dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan hal
tersebut. Bila konteksnya kurang tepat, misalnya, pasien justru dapat merasa
tersinggung atau dipermalukan oleh pertanyaan kita (nyata atau tidak nyata),
pasien mungkin akan menolak atau menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya.
PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG PERLU
DIMILIKI OLEH SESEORANG YANG
INGIN MELAKUKAN PSIKOTERAPI
Kelengkapan
ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan psikoterapi
ialah:
a.
Mempunyai
pengetahuan mengenai dasar-dasar ilmu
psikologi dan psikopatologi serta proses-proses mental.
Hal ini dapat diperoleh dari mengikuti kuliah, kursus, maupun membaca
sendiri.
b.
Dapat menarik
suatu konklusi tentang keadaan mental pasien yang
telah diperiksa. Hal ini didapat dari latihan intensif dan supervisi, untuk
mempertajam fungsi pemeriksaan, terutama dalam hal mendengar dengan cermat (listening).(A healer is one who listens in
order to listen and to understand). Dengan mendengar dengan teliti dan
cermat, dibekali oleh pengetahuan yang cukup, kita akan mendapat gambaran tepat
tentang pasien-pasien yang diwawancarai. Fungsi mendengar ini amat
penting; dari fungsi ini
sedapat-dapatnya kita memperoleh apa yang dimaksud oleh pasien, yang belum
tentu sesuai dengan apa yang dikatakannya.
Misalnya:
<> seorang
pasien datang dengan keluhan nyeri di dadanya; hendaknya kita memperhatikan bagaimana ia mengekspresikan
keluhan tersebut dengan cermat. Bila
kita teliti, kita akan merasa dan mengetahui bahwa sebetulnya pada saat itu
pasien sedang dalam keadaan sangat cemas. Untuk mengatasi hal itu, tugas pertama kita adalah mengurangi kecemasannya
terlebih dahulu. Barangkali dengan itu saja, sudah akan mengurangi intensitas
keluhannya. Untuk melakukan maksud ini pun kita harus lihat dan rasakan dengan
teliti; kadang, tujuan kita akan menurunkan
kecemasannya tetapi justru meningkatkannya. Jadi, kita harus
mengetahui apa tujuan kita mengajukan pertanyaan tertentu kepada pasien.
<> seorang
pasien lain datang dengan keluhan sakit yang bermacam-macam yang menimpa
beberapa bagian atau organ tubuhnya. Biasanya
kita langsung berpikir: “Sakit apakah
pasien ini?“ Padahal, mungkin yang ia maksud saat itu adalah:“ Saya sedang
sangat cemas, dokter!“ Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua yang
dikatakan oleh pasien itu tercermin dari perkataannya; bila kita senantiasa teliti, kita akan merasa dan mengetahui apa yang
diucapkan dan diperagakan pasien secara
keseluruhan, baik yang tersurat maupun yang tersirat, karena biasanya
keluhan pasien merupakan suatu simbol atau representasi dari hal-hal yang tidak
dapat diungkapkan secara verbal, yang biasanya terjadi karena hal itu tidak
disadari (berada di alam nirsadar).
<> seorang pasien lain
mengeluhkan rasa nyeri yang
dialami sejak beberapa waktu sebelumnya. Biasanya, kita lalu akan bertanya:
“Nyerinya di sebelah mana, ya?“ Dalam hal ini, kita harus mengetahui betul
mengapa kita mengajukan pertanyaan tersebut (apa maksud/tujuannya? apakah memang
hanya ingin mengetahui lokasi nyerinya, atau ingin memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya?); sebaiknya, pertanyaan kita
tersebut mengandung makna bagi pasien (pertanyaan yang logis, sensibel, dapat
dimengerti maksud dan tujuannya oleh pasien). Usahakan tidak mengungkapkan pertanyaan dengan
kata-kata yang sulit
dimengerti, karena ini
dapat mengakibatkan pasien
merasa tidak mampu (karena tidak
mengerti pertanyaan kita), atau merasa
bahwa ia tidak
dipahami. Kita juga sebaiknya mengetahui
jawaban apa yang
kita harapkan dari pertanyaan
yang kita ajukan tersebut.
c.
Terampil dan berpengalaman dalam menerapkan
teknik dan metode penanganan fungsi-fungsi mental pasien. Terdapat
teknik-teknik yang biasanya digunakan, antara lain persuasi, desensitisasi,
pemberian nasihat, pemberian contoh (modelling),
empati, penghiburan, interpretasi, reward
& punishment, dll. Pada
dasarnya, terdapat manipulasi dasar yang dapat kita lakukan, yaitu :
> Cara mengontrol ansietas
> Cara mengatasi depresi
>
Cara menghadapi psikosis
Mengenai lama
pendidikan yang dijalani untuk menguasai teknik-teknik tersebut amat
bervariasi, tergantung dari latar belakang pendidikan serta jenis psikoterapi
yang ingin dimahiri (lihat pembagian jenis psikoterapi; untuk konseling
misalnya, minimal diperlukan waktu dua minggu untuk dapat melakukannya sendiri,
sedangkan untuk psikoterapi berorientasi dinamik, diperlukan pendidikan
intensif sekitar lima-enam tahun untuk mendapatkan ilmu
dan ketrampilan yang memadai).
d.
Kepribadian:
merupakan variabel
yang penting dalam psikoterapi (selain variabel pasien dan teknik yang
digunakan) yang berpengaruh penting dalam menentukan arah dan hasil terapi.
Seseorang yang ingin melakukan psikoterapi hendaknya memiliki kepribadian dengan kualitas khusus yang memungkinkan
untuk membentuk dan memupuk hubungan yang tepat dan patut dengan
pasien-pasiennya, dengan ciri-ciri :
-
Sensitif
/ sensibel
-
Obyektif
dan jujur
-
Fleksibel
-
Dapat
berempati
-
Relatif
bebas dari problem emosional atau problem kepribadian, yang serius.
Sebaliknya,
ciri/unsur kepribadian yang merugikan keberhasilan terapi, antara lain :
-
Kecenderungan
untuk mendominasi, sombong/angkuh, otoriter
-
Kecenderungan
untuk pasif dan submisif
-
Sulit
untuk terlibat dalam hubungan personal yang bermakna
-
Tidak
mampu untuk mentoleransi ekspresi impuls tertentu
-
Mempunyai
kebutuhan untuk menggunakan pasien bagi pemuasan impuls yang terpendam
-
Mempunyai
sifat destruktif
e.
Pengalaman :
pengalaman yang diperoleh dalam menangani
pasien, kekayaan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, luasnya wawasan dalam
pengetahuan, budaya, agama, hal-hal spiritual, merupakan bekal yang penting. Problem pribadi yang
dialami tidak dapat menjadi ukuran dalam menangani pasien. Yang menarik ialah
bahwa tidak ada seorang pasien pun yang sama, setiap pasien adalah unik.
Pengalaman yang dimiliki akan berguna dalam mengatur strategi dan teknik untuk
mencapai tujuan terapi.
JENIS-JENIS PSIKOTERAPI
a. Berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai, psikoterapi dibedakan atas:
1 Psikoterapi Suportif:
Tujuan:
- Mendukung funksi-funksi ego, atau
memperkuat mekanisme defensi yang ada
- Memperluas mekanisme pengendalian yang
dimiliki dengan yang baru dan lebih baik.
- Perbaikan ke suatu keadaan keseimbangan
yang lebih adaptif.
Cara atau pendekatan: bimbingan, reassurance, katarsis emosional,
hipnosis, desensitisasi, eksternalisasi minat, manipulasi lingkungan, terapi
kelompok.
2 Psikoterapi
Reedukatif:
Tujuan:
Mengubah pola perilaku dengan meniadakan
kebiasaan (habits) tertentu dan
membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan.
Cara atau pendekatan: Terapi perilaku,
terapi kelompok, terapi keluarga, psikodrama, dll.
3. Psikoterapi Rekonstruktif:
Tujuan :
Dicapainya tilikan (insight) akan konflik-konflik nirsadar, dengan usaha untuk mencapai
perubahan luas struktur kepribadian seseorang.
Cara atau pendekatan: Psikoanalisis klasik
dan Neo-Freudian (Adler, Jung, Sullivan, Horney, Reich, Fromm, Kohut, dll.),
psikoterapi berorientasi psikoanalitik atau dinamik.
b. Menurut “dalamnya”, psikoterapi terdiri
atas:
1. ”superfisial”, yaitu yang menyentuh
hanya kondisi atau proses pada “permukaan”, yang tidak menyentuh hal-hal yang
nirsadar atau materi yangdirepresi.
2. “mendalam” (deep), yaitu yang menangani hal atau proses yang tersimpan dalam
alam nirsadar atau materi yang direpresi.
c. Menurut teknik yang terutama digunakan,
psikoterapi dibagi menurut teknik perubahan yang digunakan, antara lain
psikoterapi ventilatif, sugestif, katarsis, ekspresif, operant conditioning, modeling, asosiasi bebas, interpretatif, dll.
d. Menurut konsep teoretis tentang motivasi
dan perilaku, psikoterapi dapat dibedakan menjadi: psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional
dianggap teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi); psikoterapi kognitif (problem
diatasi dengan mengkoreksi sambungan kognitif automatis yang “keliru”; dan
psikoterapi evokatif, analitik, dinamik (membawa ingatan, keinginan, dorongan,
ketakutan, dll. yang nirsadar ke dalam kesadaran). Psikoterapi kognitif dan
perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan psikoterapi dinamik
berdasar pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.
e. Menurut setting-nya, psikoterapi terdiri atas psikoterapi individual dan
kelompok (terdiri atas terapi marital/pasangan, terapi keluarga, terapi
kelompok)
Terapi marital atau pasangan diindikasikan
bila ada problem di antara pasangan, misalnya komunikasi, persepsi,dll. Terapi
keluarga, dilakukan bila struktur dan fungsi dalam suatu keluarga tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Bila salah satu anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa, akan mempengaruhi keadaan dan interaksi dalam keluarga dan
sebaliknya, keadaan keluarga akan mempengaruhi gangguan serta prognosis pasien.
Untuk itu seluruh anggota keluarga diwajibkan hadir pada setiap sesi terapi. Terapi
kelompok, dilakukan terhadap sekelompok pasien (misalnya enam atau delapan
orang), oleh satu atau dua orang terapis. Metode dan caranya bervariasi; ada
yang suportif dan bersifat edukasi, ada yang interpretatif dan analitik.
Kelompok ini dapat terdiri atas pasien-pasien dengan gangguan yang berbeda,
atau dengan problem yang sama, misalnya gangguan makan, penyalahgunaan zat, dll.
Diharapkan mereka dapat saling memberikan dukungan dan harapan serta dapat
belajar tentang cara baru mengatasi problem yang dihadapi.
f. Menurut nama pembuat teori atau perintis
metode psikoterapeutiknya, psikoterapi dibagi menjadi psikoanalisis Freudian,
analisis Jungian, analisis transaksional Eric Berne, terapi rasional-emotif
Albert Ellis, konseling non-direktif Rogers, terapi Gestalt dari Fritz Perls,
logoterapi Viktor Frankl, dll.
g. Menurut teknik tambahan khusus yang
digabung dengan psikoterapi, misalnya narkoterapi, hypnoterapi, terapi musik,
psikodrama, terapi permainan dan peragaan (play
therapy), psikoterapi religius, dan latihan meditasi.
h. Yang belum disebutkan dalam pembagian di
atas namun akhir-akhir ini banyak dipakai antara lain: konseling, terapi interpersonal,
intervensi krisis.
Konseling:
menurut para ahli sebetulnya tidak termasuk
psikoterapi, oleh karena tidak memenuhi kriteria dan batasannya, antara lain
teknik, tujuan dan orang yang melakukannya, walaupun hubungan yang terjadi di
dalamnya juga merupakan “the helping
relationships”. Konseling bukan
hanya hubungan profesional antara dokter-pasien, tetapi dapat dilakukan dalam
berbagai bidang profesi, misalnya guru, pengacara, penasehat keuangan,
dsb.
Konseling:
Merupakan proses membantu seseorang untuk belajar
menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu.
Fokus
pada masalah klien atau pasien.
Percakapannya
merupakan percakapan dua arah.
Bentuknya terstruktur, yaitu terdiri atas: menyambut,
membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
Bertujuan
membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat
peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Memerlukan
kemampuan melakukan komunikasi interpersonal. Konseling dilakukan dalam suasana
yang menjamin rasa aman dan nyaman
Tujuan:
- Membantu kemampuan klien atau pasien untuk mengambil
keputusan yang bijaksana dan
realistik.
- Menuntun perilaku klien/pasien agar mampu mengemban
konsekuensinya
-
Memberikan informasi dan edukasi
Terdapat dua tipe konseling:
a. Pengarahan untuk mengatasi kesulitan
pengambilan keputusan
b. Konseling untuk membantu seseorang
dalam suatu pilihan
yang vital
Terapi
interpersonal:
Dilakukan
terhadap pasien yang
mengalami konflik saat
ini dengan pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami
kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam karier atau
peran sosial atau perubahan hidup lainnya. Banyak dilakukan terhadap depresi sedang
dan berat.
Intervensi
krisis:
Dilakukan terhadap pasien yang sedang
mengalami suatu krisis dan memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu
suatu respons terhadap keadaan bahaya atau penuh risiko dan dirasakan/dihayati
sebagai keadaan yang menyakitkan, agar tercapai kembali keadaan seimbang (emotional equilibrium). Dalam terapi ini
kita harus secepatnya membina hubungan interpersonal yang adekuat serta
mengerti peran psikodinamik dan hubungannya terhadap krisis yang terjadi.
Teknik yang dilakukan yaitu reassurance,
sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi psikotropik. Kita ajarkan kepada
pasien untuk menghindari situasi yang berbahaya untuk mencegah terjadinya
kembali krisis di masa yang akan datang.
PROSES
PSIKOTERAPI PRAKTIS ( SECARA
GARIS BESAR )
Dalam
psikoterapi, begitu banyak variabel yang berperan sehingga kita dapat
kehilangan arah dan terhalang oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses, baik dari sisi pasien, dokter
maupun sifat hubungan antara dokter-pasien.
Dari
sisi pasien, faktor yang dapat mempengaruhi proses, antara lain adanya
motivasi, fenomena transferensi, resistensi, mekanisme defensi, dsb. Transferensi
adalah suatu distorsi persepsi pada pasien, yang secara nirsadar menganggap
seorang terapis sebagai figur yang bermakna pada masa lalunya. Bila hal ini
diketahui/disadari oleh terapis, justru dapat digunakan sebagai alat atau
sarana untuk mencapai tujuan psikoterapi. Resistensi (berbeda dengan
definisi menurut ilmu kedokteran umum - yang berarti daya tahan organisme
terhadap penyakit) yaitu perlawanan pasien terhadap usaha-usaha untuk mengubah
pola perilakunya, memberikan suatu tilikan, membuat unsur nirsadar menjadi
sadar. Mekanisme defensi, yaitu mekanisme nirsadar untuk mengelakkan
pengetahuan sadar tentang konflik dan ansietas yang berkaitan dengan hal itu.
Dari
pihak dokter atau terapis, hal yang sama dapat pula dialami, yaitu kontra-transferensi
(salah persepsi terapis terhadap pasiennya), resistensi, dsb., disertai
teknik dan ketrampilan yang dimiliki oleh sang terapis, turut mempengaruhi
proses terapi.
Secara
garis besar, untuk psikoterapi yang terstruktur, terdapat kerangka umum yang
terencana, sehingga seseorang dapat lebih terarah dan mantap dalam usaha untuk
mencapai tujuan terapeutik yang bermakna. Kerangka kerja umum tersebut
hendaknya cukup luwes dan luas (holistik), yang dapat mencakup berbagai
orientasi dan disiplin. Adapun kerangka proses psikoterapi tersebut 2
:
1. Fase Awal:
Tujuannya membentuk hubungan kerja dengan
pasien. Tugas Terapeutik : 1. Memotivasi pasien untuk menerima terapi, 2.
Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi (bila ada), 3.
Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan bahwa terapis mampu
membantunya, 4. Menetapkan secara tentatif mengenai tujuan terapi.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam
bentuk: 1. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia
dapat dibantu, 2.Penolakan terhadap arti dan situasi terapi, 3. Tidak dapat
dipengaruhi, terdapat hostilitas dan agresi, dependensi yang mendalam, dan 4. Berbagai
resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan yang sehat dan hangat.
Masalah kontratransferensi dalam diri
terapis, antara lain: 1. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling
mengerti secara timbal balik,2. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien
untuk terapi dan terhadap terapis, 3. Tidak mampu memberi kehangatan kepada
pasien, dan 4. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap
pasien dan masalahnya.
2. Fase Pertengahan:
Tujuannya: menentukan perkiraan sebab dan
dinamik gangguan yang dialami pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian
(bila telah ada), menentukan langkah korektif. Tugas terapeutik: 1.Mengeksplorasi
berbagai frustrasi terhadap lingkungan dan hubungan interpersonal yang
menimbulkan ansietas. Bila melakukan psikoterapi dinamik, gunakan asosiasi,
analsisi karakter, analisis transferensi, interpretasi mimpi. Pada terapi
perilaku, kita menilai faktor-faktor yang perlu diperkuat dan gejala-gejala
yang perlu dihilangkan. 2. Membantu pasien dalam mengatasi ansietas yang
berhubungan dengan problem kehidupan.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam
bentuk: 1. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan dan
kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan, 2. Tidak mau, atau
tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan mengatasi ansietas yang
berhubungan dengan konflik, keinginan dan ketakutan
Masalah kontratransferensi dalam diri
terapis dapat berupa: 1.Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan
ansietas dalam diri terapis; 2. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada
fase permulaan, 3. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien.
3.
Fase akhir:
Tujuannya yaitu: terminasi terapi. Tugas terapeutiknya
antara lain: 1. Menganalisis elemen-elemen dependensi hubungan terapis – pasien;
2. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien membuat
keputusan, menentukan nilai dan cita-cita sendiri. 3. Membantu pasien mencapai
kemandirian dan ketegasan diri yang setinggi-tingginya.
Resistensi pada pasien dapat berupa: 1.
Penolakan untuk melepaskan dependensi; 2. Ketakutan untuk mandiri dan asertif
Masalah kontratransferensi pada terapis: 1.
Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien; 2. Tidak mampu
mengambil sikap/peran yang non direktif sebagai terapis.
EFEKTIVITAS PSIKOTERAPI
Dari
pelbagai penelitian statistik yang telah dilakukan, ternyata di antara sekian
banyak bentuk dan jenis psikoterapi yang ada, tidak satu pun terbukti lebih
unggul daripada yang lain. Perbaikan terapeutik yang dicapai, ditentukan oleh
faktor-faktor:
-
tujuan yang ingin dicapai
-
motivasi pasien
-
kepribadian dan ketrampilan terapis
-
teknik yang digunakan
SIMPULAN
Telah
diuraikan dasar-dasar psikoterapi secara singkat dan terbatas. Psikoterapi
memang merupakan ilmu dan ketrampilan tersendiri yang bermanfaat untuk
pasien-pasien dengan problem kejiwaan
khususnya dan problem kesehatan pada umumnya. Ilmu dan ketrampilan ini dapat diajarkan
dan dipelajari namun memerlukan waktu yang tidak sedikit, ketekunan serta
kepribadian terapis yang juga tidak kalah pentingnya.
Untuk dokter umum yang bertugas sebagai ujung tombak dalam
sistem pelayanan kesehatan di tanah air, psikoterapi penting untuk dipelajari,
walaupun memerlukan waktu yang khusus dan cukup lama untuk mempelajari kembali karena
terdiri atas teknik-teknik dan metode tertentu. Oleh karena itu, minimal
konseling dan psikoterapi suportif hendaknya dapat dipahami dengan baik.
Psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; bila serang dokter tidak
memahaminya, bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan
setidaknya diharapkan dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan
pasiennya.
Dalam
melakukan wawancara dalam praktek sehari-hari dengan pasien, beberapa hal yang
perlu diingat antara lain bahwa wawancara mengandung makna terapeutik
selain untuk pengambilan data dalam upaya penegakan diagnosis. Komunikasi
antara dokter-pasien adalah penting. Dalam berhadapan dengan pasien,
hendaknya kita senantiasa membina hubungan interpersonal dengan optimal,
mengerti dan sadar apa yang kita bicarakan, bagaimana cara
penyampaiannya, bilamana, serta dalam konteks apa kita
menyampaikan pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan kita. Hendaknya kita perlu
belajar memantau hal-hal tersebut agar ucapan-ucapan dan sikap kita terhadap
pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sesedikit mungkin tercampur
oleh unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektif kita.
Ketrampilan yang
perlu dilatih terus-menerus
ialah dalam mendengarkan dengan cermat (empathic listening). Dengan mendengar dengan teliti, disertai observasi
yang cermat, serta didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang psikologi,
psikopatologi dan proses-proses kejiwaan, kita akan mendapat gambaran yang
tepat dan menyeluruh tentang pasien.
Setelah
melakukan wawancara dengan pasien, hendaknya kita dapat membuat konklusi
tentang keadaan mental pasien {seberapa cemas, apakah ia dalam keadaan
depresi, bingung (confuse), marah,
atau bahkan tidak mengerti harus berbuat apa}; setelah itu tentunya kita harus
mengetahui langkah apa yang harus kita perbuat untuk menolongnya.
PUSTAKA ACUAN
1.
Kaplan
H.I. & Sadock BJ Psychotherapies, in Comprehensive Textbook of Psychiatry,
Chapter 31, Eight Edition, Vol.2, William & Wilkins, Baltimore, 2004, 1767-70.
2.
Gabbard
G.O. Individual Psychotherapy, in Psychodynamic Psychiatry Clinical Practice -
The DSM - IV Edition, American Psychiatric Press, 2000, 91-5.
3.
Lubis
DB & Elvira SD. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Balai
Penerbit FKUI, 2005: 10-12
4.
Elvira
SD. Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit FKUI, 2005: 5,7, 9.
5.
Gabbard
GO. Long-Term Dynamic Psychotherapy, American Psychiatric Press, 2004, 91-5.
6.
Jackson
SW. The Listening Healer in the History of Psychological Healing. Am J of
Psychiatry: Dec. 1992
7.
Green
B. Psychotherapy, in Problem-based Psychiatry, Churchill Livingstone, Medical
Division of Pearson Professional Ltd., 1996, 140-3.
8.
Wolberg
L.R. What is Psychotherapy? in The Technique os Psychotherapy, Part One,
Grune & Stratton, New York, San Fransisco, London,1977, 3-4, 15-6
9.
Lubis
D.B. Wawancara Psikiatrik, dalam
Pengantar Psikiatri Klinik, Balai
Penerbit FKUI, 1989, 58-9, 97, 106, 112.
10. Janis I.L. Problems
of Short-term Counseling, in Short-term Counseling, Yale University Press, New
Haven and London, 1983, 8-10.
11. Karasu T.B. Psychotherapies: An Overview,
American J. Psychiatry, 134 : 8, 1977,
857- 8.
12. Weissman M.M. &
Markowitz, J.C., Interpersonal Psychotherapy, Current status, Arch. Gen.
Psychiatry, 51, 1994, 599 - 601.
Langganan:
Postingan (Atom)