Menurut Prawitasari, 1993 (dalam Subandi, 2000) istilah psikoterapi
(dan konseling) memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan
oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru,
dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika
psikologis. Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan tentang tujuan
psikoterapi secara lebih spesifik meliputi beberapa aspek kehidupan
manusia antara lain:
Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar,
Mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang dalam,
Membantu klien mengembangkan potensinya,
Mengubah kebiasaan dan membentuk tingkah laku baru,
Mengubah struktur kognitif,
Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan,
Meningkatkan pengetahuan diri dan insight,
Meningkatkan hubungan antar pribadi,
Mengubah lingkungan sosial individu,
Mengubah proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik,
Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol dan kreativitas diri.
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa persoalan yang ditangani oleh
psikoterapis barat menyangkut masalah-masalah yang bersifat
fisiologis-emosional-kognitif-behavioral-sosial. Meskipun jangkauannya
bervariasi, seringkali konotasi menjadi sempit, yaitu hanya mengarah
kepada suatu usaha dalam proses penyembuhan, menghilangkan persoalan dan
gangguan. Walaupun sebenarnya ada beberapa psikoterapis yang memasukan
isu pengembangan diri sebagai agenda dalam terapi. Tetapi secara umum
orang akan selalu beranggapan bahwa jika ada seseorang sedang menjalani
suatu psikoterapi, berarti sedang berusaha menyembuhkan diri.
Gambaran mengenai Psikoterapi Islam sendiri memiliki ruang lingkup
dan jangkauan yang lebih luas. Selain menaruh perhatian pada proses
penyembuhan, psikoterapi Islam sangat menekankan pada usaha peningkatan
diri, seperti membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitif,
meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul karimah dan meningkatkan
potensi untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di
muka bumi. Mappiare, 1996 (dalam Subandi, 2000) menekankan bahwa
psikoterapi Islam bertujuan untuk mengembalikan seorang pribadi pada
fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan yang lurus. Lebih jauh lagi
Hamdani, 1996-a (dalam Subandi, 2000) menyebutkan bahwa psikoterapi juga
perlu memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakekat
dirinya, menemukan Tuhannya dan menemukan rahasia Tuhan.
Psikoterapi Islam tidak hanya memberikan terapi pada orang-orang yang
“sakit” sesuai dengan kriteria mental-psikologis-sosial, tetapi juga
perlu ikut menangani orang-orang yang “sakit” secara moral dan
spiritual. Jadi ukuran yang dijadikan sebagai standar untuk menentukan
kriteria suatu tingkah laku itu perlu diterapi atau tidak, yang
pertama-tama adalah nilai moral-spiritual dalam Islam. Baru kemudian
mengacu pada kriteria-kriteria psikologi yang ada.
Teori-teori psikologi pada umumnya terlalu berorientasi pada manusia
atau antroposentris (Bastaman, 1995 dalam Subandi, 2000), sehingga
ukuran kebenarannya juga dari kacamata manusiawi. Sedangkan dalam
perspektif psikologi Islami dalam hal ini psikoterapi Islam kebenarannya
harus dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah (Al-Hadis).
Bentuk Psikoterapi Berwawasan Islam
Muhammad Mahmud Mahmud (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001),
seorang psikolog muslim ternama membagi psikoterapi Islam dalam dua
kategori, pertama, bersifat duniawi berupa pendekatan dan teknik-teknik
pengobatan psikis setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata.
Psikoterapi duniawi merupakan hasil daya upaya manusia berupa
teknik-teknik terapi atau pengobatan kejiwaan yang didasarkan atas
kaidah-kaidah insaniyah. Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan
mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan agama, dan kedua model
psikoterapi ini satu sama lain saling terkait.
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) psikoterapi dalam Islam
yang dapat menyembuhkan semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat
duniawi, ukhrawi maupun penyakit manusia modern adalah sebagaimana
ungkapan dari Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Obat hati itu ada lima macam:
membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya,
melakukan shalat malam,
bergaul dengan orang yang baik atau shalih,
memperbanyak shaum atau puasa,
dzikir malam hari yang lama.
Barang siapa yang mampu melakukan salah salah satu dari kelima macam
obat hati tersebut maka Allah akan mengabulkannya (permintaannya dengan
menyembuhkan penyakit yang diderita).
Al-Quran dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama, sebab di
dalamnya terdapat rahasia mengenai bagaimana menyembuhkan penyakit jiwa
manusia. Tingkat kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat
sugesti keimanan seseorang. Sugesti yang dimaksud dapat diraih dengan
mendengar, membaca, memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi
kandungannya:
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Isra, 71:82).
Terapi yang kedua adalah melakukan shalat malam (qiyamul lail).
Keampuhan terapi shalat sunnah ini sangat terkait dengan pengamalan
shalat wajib, sebab kedudukan terapi shalat sunnah hanya menjadi
suplemen bagi terapi shalat wajib. Adapun hikmah dari pelaksanaan shalat
malam dalam hal ini shalat tahajud adalah:
1. Mendapat kedudukan terpuji di hadapan Allah SWT.
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke
tempat yang Terpuji. (QS. Al-Israa, 71:79).
2. Memiliki kepribadian orang-orang salih yang dekat dengan Allah SWT., terhapus dosanya dan terhindar dari perbuatan munkar.
3. Jiwanya selalu hidup sehingga mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman dan dijanjikan kenikmatan syurga.
4. Doanya makbul, mendapat ampunan Allah SWT., dan dilapangkan rizkinya.
5. Ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Shalat secara umum memiliki empat aspek terapeutik, pertama adalah
aspek olahraga, karena shalat adalah suatu proses yang menuntut
aktivitas fisik yang di dalamnya terdapat proses relaksasi. Salah satu
teknik yang banyak dipakai dalam proses terapi gangguan jiwa adalah
latihan relaksasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nizami
diungkap bahwa shalat menghasilkan bio energi yang menghantarkan si
pelaku dalam situasi seimbang (equilibrium). Hasil penelitian lainnya
dari Arif Wisono Adi, 1985 (dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori,
1994) menunjukan adanya korelasi negatif yang signifikan antara
keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan
teratur orang melakukan shalat maka makin rendah tingkat kecemasannya.
Kedua adalah aspek meditasi. Shalat adalah proses yang menuntut
konsentrasi yang dalam (khusuk) dan kekhusukan dalam shalat adalah suatu
proses meditasi, yang dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa
aktivitas meditasi dapat menghilangkan kecemasan.
Ketiga adalah aspek auto-sugesti. Bacaan dalam pelaksanaan shalat
adalah ucaapan yang dipanjatkan pada Allah. Di samping berisi pujian
pada Allah juga berisikan doa dan permohonan pada Allah agar selamat di
dunia dan di akhirat. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang
tidak berbeda dengan terapi “self-hypnosis” dengan mensugesti diri
sendiri dengan mengucapakan hal-hal yang baik pada diri sendiri agar
memiliki sifat yang baik tersebut.
Keempat adalah aspek kebersamaan. Hal ini tampak pada saat
pelaksanaan shalat berjamaah yang pada pelaksanaannya memupuk rasa
kebersamaan. Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan
“keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan
jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu
dapat hilang.
Terapi yang ketiga adalah bergaul dengan orang salih. Orang yang
salih adalah orang yang mampu mengintegrasikan dirinya dan mampu
mengaktualisasikan potensinya semaksimal mungkin dalam berbagai dimensi
kehidupan. Jika seseorang dapat bergaul dengan orang salih maka
nasihat-nasihat dari orang salih tersebut akan dapat memberikan terapi
bagi kelainan atau penyakit mental seseorang. Dalam terminologi tasawuf
hal ini tergambar pada seorang guru sufi atau mursyid yang memiliki
ketajaman batin terhadap kondisi penyakit muridnya.
Terapi yang keempat adalah melakukan puasa. Maksud puasa di sini
adalah menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang dapat merusak
citra fitri manusia. Al-Ghazali mengemukakan bahwa hikmah berpuasa
(menahan rasa lapar) adalah:
Menjernihkan kalbu dan mempertajam pandangan akal
Melembutkan kalbu sehingga mampu merasakan kenikmatan batin
Menjauhkan perilaku yang hina dan sombong, yang perilaku ini sering mengakibatkan kelupaan
Mengingatkan jiwa manusia akan cobaan dan azab Allah, sehingga sangat hati-hati di dalam memilih makanan
Memperlemah syahwat da tertahannya nafsu amarah yang buruk
Mengurangi tidur untuk diisi dengan berbagai aktivitas ibadah
Mempermudah untuk selalu tekun beribadah
Menyehatkan badan dan jiwa
Menumbuhkan kepedulian sosial
Menumbuhkan rasa empati
Terapi yang kelima adalah zikir. Dalam arti sempit zikir berarti
menyebut asma-asma agung dalam berbagai kesempatan. Sedangkan dalam arti
yang luas, zikir mencakup pengertian mengingat segala keagungan dan
kasih sayang Allah SWT. yang telah diberikan kepada kita, sambil
mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Zikir dapat
mengembalikan kesadaran seseorang untuk mengingat, menyebut dan
mereduksi kembali hal-hal yang tersembunyi dala hatinya. Zikir juga
mampu mengingatkan seseorang bahwa yang membuat dan menyembuhkan
penyakit hanyalah Allah SWT., semata sehingga zikir mampu memberi
sugesti penyembuhannya, melakukan zikir sama nilainya dengan terapi
relaksasi.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d, 13:28).s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar