PENDAHULUAN
Psikoterapi merupakan salah satu
modalitas terapi yang terandalkan dalam tatalaksana pasien psikiatri disamping
psikofarmaka dan terapi fisik. Sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari,
prinsip-prinsip dan beberapa kaidah yang ada dalam psikoterapi ternyata juga
digunakan, antara lain dalam konseling, pendidikan dan pengajaran, atau
pun pemasaran.
Dalam praktek, psikoterapi
dilakukan dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat
mengubah pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam, dan hal ini
sering tidak kita sadari. Beberapa contohnya, antara lain seorang penakut,
dapat berubah menjadi berani, atau, dua orang yang saling bermusuhan satu sama
lain, kemudian dapat menjadi saling bermaafan, atau, seseorang yang sedih dapat
menjadi gembira setelah menjalani percakapan dengan seseorang yang
dipercayainya. Bila kita amati contoh-contoh itu, akan timbul pertanyaan,
apakah sebenarnya yang telah dilakukan terhadap mereka sehingga dapat terjadi
perubahan tersebut? Pada hakekatnya,
yang dilakukan ialah pembujukan atau persuasi. Caranya dapat bermacam-macam,
antara lain dengan memberi nasehat, memberi contoh, memberikan pengertian,
melakukan otoritas untuk mengajarkan sesuatu, memacu imajinasi, melatih,
dsb. Pembujukan ini dapat efektif asal
dilakukan pada saat yang tepat,
dengan cara yang tepat, oleh orang
yang mempunyai cukup pengalaman. Pada prinsipnya pembujukan ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dalam berbagai bidang, dan dapat dilakukan oleh banyak
orang.
Dalam
dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan hal yang
penting oleh karena percakapan atau pembicaraan merupakan hal yang selalu
terjadi diantara mereka. Komunikasi berlangsung dari saat perjumpaan pertama,
yaitu sewaktu diagnosis belum ditegakkan hingga saat akhir pemberian terapi.
Apa pun hasil pengobatan, berhasil atau pun tidak, dokter akan
mengkomunikasikannya dengan pasien atau keluarganya; hal itu pun dilakukan
melalui pembicaraan. Dalam keseluruhan proses tatalaksana pasien, hubungan
dokter-pasien merupakan hal yang penting dan sangat menentukan, dan untuk dapat
membentuk dan membina hubungan dokter-pasien
tersebut, seorang dokter dapat mempelajarinya melalui prinsip-prinsip
psikoterapi.
Sejak berabad yang lalu, para ahli
telah menyadari bahwa psikoterapi berperan penting pada penyembuhan
gangguan-gangguan pikiran dan perasaan, dan dokter berperan penting dalam hal
itu (A healer is a person to whom a
sufferer tells things; and out of his or her listening, the healer develops the
basis for therapeutic interventions. The good listener is the best physician
for those who are ill in thought and feeling). Oleh karena itu dahulu psikoterapi sering
disebut sebagai the talking cure.
Psikoterapi diterima sebagai ilmu dan ketrampilan tersendiri, sebagai
pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip the talking cure tersebut, oleh karena terdiri atas teknik-teknik
dan metode khusus yang dapat diajarkan dan dipelajari.
Mengapa
psikoterapi penting dipelajari? Psikoterapi merupakan alat yang dapat membantu
dan penting dipelajari khususnya oleh dokter dan para profesional lain yang
berperan dalam kesehatan dan kesehatan jiwa, namun perlu pula diingat bahwa
teknik dan metodenya yang tertentu dan bermacam-macam tersebut memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat dipelajari dan dipraktekkan dengan baik. Tentunya,
dengan hanya membaca buku ajar yang singkat ini tidaklah mungkin mencakup
keseluruhan hal mengenai psikoterapi, namun setidaknya prinsip-prinsip dasar
psikoterapi dapat dipahami, untuk dapat diaplikasikan dalam praktek
sehari-hari, sehingga dapat turut menunjang upaya peningkatan mutu pelayanan
kepada pasien.
Secara
non spesifik, psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; sebagai suatu
yang spesifik atau khusus, sebagaimana telah disebutkan di atas, psikoterapi
merupakan rangkaian teknik yang digunakan untuk mengubah perilaku (catatan:
teknik merupakan rangkaian tindakan yang dibakukan untuk mendapatkan perubahan
tertentu, bukan urutan perubahan alamiah, sehingga harus dilatih untuk mencapai
ketrampilan optimal). Dengan psikoterapi, seorang dokter akan dapat
memanfaatkan teknik-teknik untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapainya. Bila
seorang dokter tidak mengerti atau memahaminya, sebetulnya bukan hanya tidak
akan menambah efektivitas terapinya, melainkan setidaknya dapat menghindarkan
hal-hal yang dapat merugikan pasiennya.
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN PSIKOTERAPI ?
Banyak
definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Antara lain yaitu bahwa psikoterapi
adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologik, dilakukan
oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerjasama secara
profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau
menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit. Definisi yang lain
yaitu bahwa psikoterapi adalah cara-cara atau pendekatan yang menggunakan
teknik-teknik psikologik untuk menghadapi ketidakserasian atau gangguan mental.
Psikoterapi
disebut sebagai pengobatan, karena merupakan suatu bentuk intervensi, dengan
berbagai macam cara dan metode - yang bersifat psikologik - untuk tujuan yang
telah disebutkan di atas, sehingga psikoterapi merupakan salah satu bentuk
terapi atau pengobatan disamping bentuk-bentuk lainnya dalam ilmu kedokteran
jiwa khususnya, dan ilmu kedokteran pada umumnya.
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, talking
cures telah digunakan orang sejak berabad yang lalu. Misalnya, Soranus dari
Ephesus, seorang dokter pada abad pertama Masehi, menggunakan percakapan atau
pembicaraan untuk pasien-pasiennya dan mengubah ide-ide yang irasional dari
pasien depresi. Kini, dalam terapi kognitif (salah satu jenis psikoterapi),
terapis menelusuri cara berpikir yang irasional pada pasien-pasien depresi dan
membimbing mereka agar kemudian dapat mengatasinya sendiri.
Bermula
dari Sigmund Freud, pada akhir abad ke-sembilanbelas, yang memaparkan teori
psikoanalisisnya, psikoterapi kian berkembang hingga kini. Teknik dan metode
yang dicetuskan oleh Freud dapat dikatakan merupakan dasar dari psikoterapi,
yang tampaknya, dalam praktek sehari-hari masih tetap digunakan sebagai dasar,
apa pun teori yang dianut atau menjadi landasan atau pegangan bagi seseorang
yang melakukan psikoterapi .
PRINSIP-PRINSIP UMUM PSIKOTERAPI
Seperti
telah disebutkan, psikoterapi dilakukan dengan cara percakapan atau wawancara (interview). Dalam suatu wawancara, tidak
dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan diagnosis.
Biasanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengandung kedua aspek tersebut,
yaitu untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dengan pasien (sifat
terapeutik), dan untuk melengkapi data dalam usaha menegakkan diagnosis. Dalam
melakukan psikoterapi, wawancara harus lebih mengutamakan aspek terapeutiknya;
data yang diperlukan akan berangsur terkumpul dengan kian membaiknya hubungan
interpersonal yang terjalin antara dokter dengan pasiennya, sehingga
berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan
pasiennya tersebut.
Dalam
melakukan wawancara, hendaknya kita juga melakukan observasi secara
menyeluruh dengan teliti. Sambil mengajukan pertanyaan, kita juga mengamati dan
turut serta (sebagai participant
observer) dalam proses yang sedang berlangsung pada saat dan situasi
tersebut (“the here and now”). Yang
kita amati yaitu : (1). apa yang terjadi
pada pasien, (2). apa yang terjadi pada pewawancara atau terapis sendiri, serta
(3). apa yang terjadi di antara terapis dan pasiennya. Dalam berhadapan dengan
pasien, dokter atau terapis mempengaruhi pasien dengan sikap dan perkataannya,
dari menit ke menit, saat ke saat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan
sebetulnya bukan hanya (a).apa yang kita bicarakan, tetapi juga (b). bagaimana
cara kita melakukannya, (c). kapan (saat atau waktu yang tepat) kita
mengungkapkan hal tertentu yang ingin kita sampaikan, serta (d).bagaimana
hubungan antara si penolong (dokter atau terapis) dan yang ditolong (pasien)
tersebut. Hal-hal tersebut dapat membuat pasien menjadi lebih tenang atau
sebaliknya menjadi tegang, lebih terbuka atau tertutup, lebih percaya atau pun
curiga, sehingga dapat disimpulkan bahwa selalu ada pengaruh terapeutik maupun
kontraterapeutik, dan tidak pernah netral sama sekali, karena setiap orang mempunyai
latar belakang kepribadian dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, yang
mempengaruhi cara pandang, cara berpikir dan menghayati segala sesuatu.
Hal
yang sebaliknya juga perlu diingat, bahwa wawancara bukan hanya menghasilkan
pengaruh dokter atau terapis atas pasien, namun juga pengaruh pasien terhadap
dokternya. Sang dokter, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh sikap
dan perkataan pasien, yang akan
tercermin dalam sikap, perasaan dan perilakunya sendiri. Dipacu oleh sikap dan perilaku pasien
terhadapnya (ditambah lagi dengan kehidupan fantasinya sendiri), dokter atau terapis dapat
menjadi tenang, tegang,
santai, kuatir, terbuka, tertutup, bosan, sedih, kesal, malu,
terangsang, dll.; perasaan-perasaan
tersebut turut menentukan
apa yang dikatakannya kepada pasien (atau tidak dikatakannya) dan bagaimana
ia mengatakannya. Untuk dapat
mengatasi hal ini seorang dokter atau terapis perlu belajar
untuk memantau perasaan-perasaan reaktifnya tersebut, agar ucapan-ucapan
dan sikapnya terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sedikit
mungkin tercampur dengan
unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektifnya
sendiri.
Agar
tujuan terapeutik tercapai, hendaknya senantiasa diusahakan agar dokter dapat menciptakan dan memelihara hubungan
yang optimal antara dokter dan pasien. Dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, senantiasa harus
dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan hal
tersebut. Bila konteksnya kurang tepat, misalnya, pasien justru dapat merasa
tersinggung atau dipermalukan oleh pertanyaan kita (nyata atau tidak nyata),
pasien mungkin akan menolak atau menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya.
PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG PERLU
DIMILIKI OLEH SESEORANG YANG
INGIN MELAKUKAN PSIKOTERAPI
Kelengkapan
ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan psikoterapi
ialah:
a.
Mempunyai
pengetahuan mengenai dasar-dasar ilmu
psikologi dan psikopatologi serta proses-proses mental.
Hal ini dapat diperoleh dari mengikuti kuliah, kursus, maupun membaca
sendiri.
b.
Dapat menarik
suatu konklusi tentang keadaan mental pasien yang
telah diperiksa. Hal ini didapat dari latihan intensif dan supervisi, untuk
mempertajam fungsi pemeriksaan, terutama dalam hal mendengar dengan cermat (listening).(A healer is one who listens in
order to listen and to understand). Dengan mendengar dengan teliti dan
cermat, dibekali oleh pengetahuan yang cukup, kita akan mendapat gambaran tepat
tentang pasien-pasien yang diwawancarai. Fungsi mendengar ini amat
penting; dari fungsi ini
sedapat-dapatnya kita memperoleh apa yang dimaksud oleh pasien, yang belum
tentu sesuai dengan apa yang dikatakannya.
Misalnya:
<> seorang
pasien datang dengan keluhan nyeri di dadanya; hendaknya kita memperhatikan bagaimana ia mengekspresikan
keluhan tersebut dengan cermat. Bila
kita teliti, kita akan merasa dan mengetahui bahwa sebetulnya pada saat itu
pasien sedang dalam keadaan sangat cemas. Untuk mengatasi hal itu, tugas pertama kita adalah mengurangi kecemasannya
terlebih dahulu. Barangkali dengan itu saja, sudah akan mengurangi intensitas
keluhannya. Untuk melakukan maksud ini pun kita harus lihat dan rasakan dengan
teliti; kadang, tujuan kita akan menurunkan
kecemasannya tetapi justru meningkatkannya. Jadi, kita harus
mengetahui apa tujuan kita mengajukan pertanyaan tertentu kepada pasien.
<> seorang
pasien lain datang dengan keluhan sakit yang bermacam-macam yang menimpa
beberapa bagian atau organ tubuhnya. Biasanya
kita langsung berpikir: “Sakit apakah
pasien ini?“ Padahal, mungkin yang ia maksud saat itu adalah:“ Saya sedang
sangat cemas, dokter!“ Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua yang
dikatakan oleh pasien itu tercermin dari perkataannya; bila kita senantiasa teliti, kita akan merasa dan mengetahui apa yang
diucapkan dan diperagakan pasien secara
keseluruhan, baik yang tersurat maupun yang tersirat, karena biasanya
keluhan pasien merupakan suatu simbol atau representasi dari hal-hal yang tidak
dapat diungkapkan secara verbal, yang biasanya terjadi karena hal itu tidak
disadari (berada di alam nirsadar).
<> seorang pasien lain
mengeluhkan rasa nyeri yang
dialami sejak beberapa waktu sebelumnya. Biasanya, kita lalu akan bertanya:
“Nyerinya di sebelah mana, ya?“ Dalam hal ini, kita harus mengetahui betul
mengapa kita mengajukan pertanyaan tersebut (apa maksud/tujuannya? apakah memang
hanya ingin mengetahui lokasi nyerinya, atau ingin memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya?); sebaiknya, pertanyaan kita
tersebut mengandung makna bagi pasien (pertanyaan yang logis, sensibel, dapat
dimengerti maksud dan tujuannya oleh pasien). Usahakan tidak mengungkapkan pertanyaan dengan
kata-kata yang sulit
dimengerti, karena ini
dapat mengakibatkan pasien
merasa tidak mampu (karena tidak
mengerti pertanyaan kita), atau merasa
bahwa ia tidak
dipahami. Kita juga sebaiknya mengetahui
jawaban apa yang
kita harapkan dari pertanyaan
yang kita ajukan tersebut.
c.
Terampil dan berpengalaman dalam menerapkan
teknik dan metode penanganan fungsi-fungsi mental pasien. Terdapat
teknik-teknik yang biasanya digunakan, antara lain persuasi, desensitisasi,
pemberian nasihat, pemberian contoh (modelling),
empati, penghiburan, interpretasi, reward
& punishment, dll. Pada
dasarnya, terdapat manipulasi dasar yang dapat kita lakukan, yaitu :
> Cara mengontrol ansietas
> Cara mengatasi depresi
>
Cara menghadapi psikosis
Mengenai lama
pendidikan yang dijalani untuk menguasai teknik-teknik tersebut amat
bervariasi, tergantung dari latar belakang pendidikan serta jenis psikoterapi
yang ingin dimahiri (lihat pembagian jenis psikoterapi; untuk konseling
misalnya, minimal diperlukan waktu dua minggu untuk dapat melakukannya sendiri,
sedangkan untuk psikoterapi berorientasi dinamik, diperlukan pendidikan
intensif sekitar lima-enam tahun untuk mendapatkan ilmu
dan ketrampilan yang memadai).
d.
Kepribadian:
merupakan variabel
yang penting dalam psikoterapi (selain variabel pasien dan teknik yang
digunakan) yang berpengaruh penting dalam menentukan arah dan hasil terapi.
Seseorang yang ingin melakukan psikoterapi hendaknya memiliki kepribadian dengan kualitas khusus yang memungkinkan
untuk membentuk dan memupuk hubungan yang tepat dan patut dengan
pasien-pasiennya, dengan ciri-ciri :
-
Sensitif
/ sensibel
-
Obyektif
dan jujur
-
Fleksibel
-
Dapat
berempati
-
Relatif
bebas dari problem emosional atau problem kepribadian, yang serius.
Sebaliknya,
ciri/unsur kepribadian yang merugikan keberhasilan terapi, antara lain :
-
Kecenderungan
untuk mendominasi, sombong/angkuh, otoriter
-
Kecenderungan
untuk pasif dan submisif
-
Sulit
untuk terlibat dalam hubungan personal yang bermakna
-
Tidak
mampu untuk mentoleransi ekspresi impuls tertentu
-
Mempunyai
kebutuhan untuk menggunakan pasien bagi pemuasan impuls yang terpendam
-
Mempunyai
sifat destruktif
e.
Pengalaman :
pengalaman yang diperoleh dalam menangani
pasien, kekayaan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, luasnya wawasan dalam
pengetahuan, budaya, agama, hal-hal spiritual, merupakan bekal yang penting. Problem pribadi yang
dialami tidak dapat menjadi ukuran dalam menangani pasien. Yang menarik ialah
bahwa tidak ada seorang pasien pun yang sama, setiap pasien adalah unik.
Pengalaman yang dimiliki akan berguna dalam mengatur strategi dan teknik untuk
mencapai tujuan terapi.
JENIS-JENIS PSIKOTERAPI
a. Berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai, psikoterapi dibedakan atas:
1 Psikoterapi Suportif:
Tujuan:
- Mendukung funksi-funksi ego, atau
memperkuat mekanisme defensi yang ada
- Memperluas mekanisme pengendalian yang
dimiliki dengan yang baru dan lebih baik.
- Perbaikan ke suatu keadaan keseimbangan
yang lebih adaptif.
Cara atau pendekatan: bimbingan, reassurance, katarsis emosional,
hipnosis, desensitisasi, eksternalisasi minat, manipulasi lingkungan, terapi
kelompok.
2 Psikoterapi
Reedukatif:
Tujuan:
Mengubah pola perilaku dengan meniadakan
kebiasaan (habits) tertentu dan
membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan.
Cara atau pendekatan: Terapi perilaku,
terapi kelompok, terapi keluarga, psikodrama, dll.
3. Psikoterapi Rekonstruktif:
Tujuan :
Dicapainya tilikan (insight) akan konflik-konflik nirsadar, dengan usaha untuk mencapai
perubahan luas struktur kepribadian seseorang.
Cara atau pendekatan: Psikoanalisis klasik
dan Neo-Freudian (Adler, Jung, Sullivan, Horney, Reich, Fromm, Kohut, dll.),
psikoterapi berorientasi psikoanalitik atau dinamik.
b. Menurut “dalamnya”, psikoterapi terdiri
atas:
1. ”superfisial”, yaitu yang menyentuh
hanya kondisi atau proses pada “permukaan”, yang tidak menyentuh hal-hal yang
nirsadar atau materi yangdirepresi.
2. “mendalam” (deep), yaitu yang menangani hal atau proses yang tersimpan dalam
alam nirsadar atau materi yang direpresi.
c. Menurut teknik yang terutama digunakan,
psikoterapi dibagi menurut teknik perubahan yang digunakan, antara lain
psikoterapi ventilatif, sugestif, katarsis, ekspresif, operant conditioning, modeling, asosiasi bebas, interpretatif, dll.
d. Menurut konsep teoretis tentang motivasi
dan perilaku, psikoterapi dapat dibedakan menjadi: psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional
dianggap teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi); psikoterapi kognitif (problem
diatasi dengan mengkoreksi sambungan kognitif automatis yang “keliru”; dan
psikoterapi evokatif, analitik, dinamik (membawa ingatan, keinginan, dorongan,
ketakutan, dll. yang nirsadar ke dalam kesadaran). Psikoterapi kognitif dan
perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan psikoterapi dinamik
berdasar pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.
e. Menurut setting-nya, psikoterapi terdiri atas psikoterapi individual dan
kelompok (terdiri atas terapi marital/pasangan, terapi keluarga, terapi
kelompok)
Terapi marital atau pasangan diindikasikan
bila ada problem di antara pasangan, misalnya komunikasi, persepsi,dll. Terapi
keluarga, dilakukan bila struktur dan fungsi dalam suatu keluarga tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Bila salah satu anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa, akan mempengaruhi keadaan dan interaksi dalam keluarga dan
sebaliknya, keadaan keluarga akan mempengaruhi gangguan serta prognosis pasien.
Untuk itu seluruh anggota keluarga diwajibkan hadir pada setiap sesi terapi. Terapi
kelompok, dilakukan terhadap sekelompok pasien (misalnya enam atau delapan
orang), oleh satu atau dua orang terapis. Metode dan caranya bervariasi; ada
yang suportif dan bersifat edukasi, ada yang interpretatif dan analitik.
Kelompok ini dapat terdiri atas pasien-pasien dengan gangguan yang berbeda,
atau dengan problem yang sama, misalnya gangguan makan, penyalahgunaan zat, dll.
Diharapkan mereka dapat saling memberikan dukungan dan harapan serta dapat
belajar tentang cara baru mengatasi problem yang dihadapi.
f. Menurut nama pembuat teori atau perintis
metode psikoterapeutiknya, psikoterapi dibagi menjadi psikoanalisis Freudian,
analisis Jungian, analisis transaksional Eric Berne, terapi rasional-emotif
Albert Ellis, konseling non-direktif Rogers, terapi Gestalt dari Fritz Perls,
logoterapi Viktor Frankl, dll.
g. Menurut teknik tambahan khusus yang
digabung dengan psikoterapi, misalnya narkoterapi, hypnoterapi, terapi musik,
psikodrama, terapi permainan dan peragaan (play
therapy), psikoterapi religius, dan latihan meditasi.
h. Yang belum disebutkan dalam pembagian di
atas namun akhir-akhir ini banyak dipakai antara lain: konseling, terapi interpersonal,
intervensi krisis.
Konseling:
menurut para ahli sebetulnya tidak termasuk
psikoterapi, oleh karena tidak memenuhi kriteria dan batasannya, antara lain
teknik, tujuan dan orang yang melakukannya, walaupun hubungan yang terjadi di
dalamnya juga merupakan “the helping
relationships”. Konseling bukan
hanya hubungan profesional antara dokter-pasien, tetapi dapat dilakukan dalam
berbagai bidang profesi, misalnya guru, pengacara, penasehat keuangan,
dsb.
Konseling:
Merupakan proses membantu seseorang untuk belajar
menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu.
Fokus
pada masalah klien atau pasien.
Percakapannya
merupakan percakapan dua arah.
Bentuknya terstruktur, yaitu terdiri atas: menyambut,
membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
Bertujuan
membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat
peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Memerlukan
kemampuan melakukan komunikasi interpersonal. Konseling dilakukan dalam suasana
yang menjamin rasa aman dan nyaman
Tujuan:
- Membantu kemampuan klien atau pasien untuk mengambil
keputusan yang bijaksana dan
realistik.
- Menuntun perilaku klien/pasien agar mampu mengemban
konsekuensinya
-
Memberikan informasi dan edukasi
Terdapat dua tipe konseling:
a. Pengarahan untuk mengatasi kesulitan
pengambilan keputusan
b. Konseling untuk membantu seseorang
dalam suatu pilihan
yang vital
Terapi
interpersonal:
Dilakukan
terhadap pasien yang
mengalami konflik saat
ini dengan pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami
kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam karier atau
peran sosial atau perubahan hidup lainnya. Banyak dilakukan terhadap depresi sedang
dan berat.
Intervensi
krisis:
Dilakukan terhadap pasien yang sedang
mengalami suatu krisis dan memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu
suatu respons terhadap keadaan bahaya atau penuh risiko dan dirasakan/dihayati
sebagai keadaan yang menyakitkan, agar tercapai kembali keadaan seimbang (emotional equilibrium). Dalam terapi ini
kita harus secepatnya membina hubungan interpersonal yang adekuat serta
mengerti peran psikodinamik dan hubungannya terhadap krisis yang terjadi.
Teknik yang dilakukan yaitu reassurance,
sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi psikotropik. Kita ajarkan kepada
pasien untuk menghindari situasi yang berbahaya untuk mencegah terjadinya
kembali krisis di masa yang akan datang.
PROSES
PSIKOTERAPI PRAKTIS ( SECARA
GARIS BESAR )
Dalam
psikoterapi, begitu banyak variabel yang berperan sehingga kita dapat
kehilangan arah dan terhalang oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses, baik dari sisi pasien, dokter
maupun sifat hubungan antara dokter-pasien.
Dari
sisi pasien, faktor yang dapat mempengaruhi proses, antara lain adanya
motivasi, fenomena transferensi, resistensi, mekanisme defensi, dsb. Transferensi
adalah suatu distorsi persepsi pada pasien, yang secara nirsadar menganggap
seorang terapis sebagai figur yang bermakna pada masa lalunya. Bila hal ini
diketahui/disadari oleh terapis, justru dapat digunakan sebagai alat atau
sarana untuk mencapai tujuan psikoterapi. Resistensi (berbeda dengan
definisi menurut ilmu kedokteran umum - yang berarti daya tahan organisme
terhadap penyakit) yaitu perlawanan pasien terhadap usaha-usaha untuk mengubah
pola perilakunya, memberikan suatu tilikan, membuat unsur nirsadar menjadi
sadar. Mekanisme defensi, yaitu mekanisme nirsadar untuk mengelakkan
pengetahuan sadar tentang konflik dan ansietas yang berkaitan dengan hal itu.
Dari
pihak dokter atau terapis, hal yang sama dapat pula dialami, yaitu kontra-transferensi
(salah persepsi terapis terhadap pasiennya), resistensi, dsb., disertai
teknik dan ketrampilan yang dimiliki oleh sang terapis, turut mempengaruhi
proses terapi.
Secara
garis besar, untuk psikoterapi yang terstruktur, terdapat kerangka umum yang
terencana, sehingga seseorang dapat lebih terarah dan mantap dalam usaha untuk
mencapai tujuan terapeutik yang bermakna. Kerangka kerja umum tersebut
hendaknya cukup luwes dan luas (holistik), yang dapat mencakup berbagai
orientasi dan disiplin. Adapun kerangka proses psikoterapi tersebut 2
:
1. Fase Awal:
Tujuannya membentuk hubungan kerja dengan
pasien. Tugas Terapeutik : 1. Memotivasi pasien untuk menerima terapi, 2.
Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi (bila ada), 3.
Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan bahwa terapis mampu
membantunya, 4. Menetapkan secara tentatif mengenai tujuan terapi.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam
bentuk: 1. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia
dapat dibantu, 2.Penolakan terhadap arti dan situasi terapi, 3. Tidak dapat
dipengaruhi, terdapat hostilitas dan agresi, dependensi yang mendalam, dan 4. Berbagai
resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan yang sehat dan hangat.
Masalah kontratransferensi dalam diri
terapis, antara lain: 1. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling
mengerti secara timbal balik,2. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien
untuk terapi dan terhadap terapis, 3. Tidak mampu memberi kehangatan kepada
pasien, dan 4. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap
pasien dan masalahnya.
2. Fase Pertengahan:
Tujuannya: menentukan perkiraan sebab dan
dinamik gangguan yang dialami pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian
(bila telah ada), menentukan langkah korektif. Tugas terapeutik: 1.Mengeksplorasi
berbagai frustrasi terhadap lingkungan dan hubungan interpersonal yang
menimbulkan ansietas. Bila melakukan psikoterapi dinamik, gunakan asosiasi,
analsisi karakter, analisis transferensi, interpretasi mimpi. Pada terapi
perilaku, kita menilai faktor-faktor yang perlu diperkuat dan gejala-gejala
yang perlu dihilangkan. 2. Membantu pasien dalam mengatasi ansietas yang
berhubungan dengan problem kehidupan.
Resistensi pada pasien dapat tampil dalam
bentuk: 1. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan dan
kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan, 2. Tidak mau, atau
tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan mengatasi ansietas yang
berhubungan dengan konflik, keinginan dan ketakutan
Masalah kontratransferensi dalam diri
terapis dapat berupa: 1.Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan
ansietas dalam diri terapis; 2. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada
fase permulaan, 3. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien.
3.
Fase akhir:
Tujuannya yaitu: terminasi terapi. Tugas terapeutiknya
antara lain: 1. Menganalisis elemen-elemen dependensi hubungan terapis – pasien;
2. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien membuat
keputusan, menentukan nilai dan cita-cita sendiri. 3. Membantu pasien mencapai
kemandirian dan ketegasan diri yang setinggi-tingginya.
Resistensi pada pasien dapat berupa: 1.
Penolakan untuk melepaskan dependensi; 2. Ketakutan untuk mandiri dan asertif
Masalah kontratransferensi pada terapis: 1.
Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien; 2. Tidak mampu
mengambil sikap/peran yang non direktif sebagai terapis.
EFEKTIVITAS PSIKOTERAPI
Dari
pelbagai penelitian statistik yang telah dilakukan, ternyata di antara sekian
banyak bentuk dan jenis psikoterapi yang ada, tidak satu pun terbukti lebih
unggul daripada yang lain. Perbaikan terapeutik yang dicapai, ditentukan oleh
faktor-faktor:
-
tujuan yang ingin dicapai
-
motivasi pasien
-
kepribadian dan ketrampilan terapis
-
teknik yang digunakan
SIMPULAN
Telah
diuraikan dasar-dasar psikoterapi secara singkat dan terbatas. Psikoterapi
memang merupakan ilmu dan ketrampilan tersendiri yang bermanfaat untuk
pasien-pasien dengan problem kejiwaan
khususnya dan problem kesehatan pada umumnya. Ilmu dan ketrampilan ini dapat diajarkan
dan dipelajari namun memerlukan waktu yang tidak sedikit, ketekunan serta
kepribadian terapis yang juga tidak kalah pentingnya.
Untuk dokter umum yang bertugas sebagai ujung tombak dalam
sistem pelayanan kesehatan di tanah air, psikoterapi penting untuk dipelajari,
walaupun memerlukan waktu yang khusus dan cukup lama untuk mempelajari kembali karena
terdiri atas teknik-teknik dan metode tertentu. Oleh karena itu, minimal
konseling dan psikoterapi suportif hendaknya dapat dipahami dengan baik.
Psikoterapi dapat menambah efektivitas terapi lain; bila serang dokter tidak
memahaminya, bukan hanya tidak akan menambah efektivitas terapinya, melainkan
setidaknya diharapkan dapat menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan
pasiennya.
Dalam
melakukan wawancara dalam praktek sehari-hari dengan pasien, beberapa hal yang
perlu diingat antara lain bahwa wawancara mengandung makna terapeutik
selain untuk pengambilan data dalam upaya penegakan diagnosis. Komunikasi
antara dokter-pasien adalah penting. Dalam berhadapan dengan pasien,
hendaknya kita senantiasa membina hubungan interpersonal dengan optimal,
mengerti dan sadar apa yang kita bicarakan, bagaimana cara
penyampaiannya, bilamana, serta dalam konteks apa kita
menyampaikan pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan kita. Hendaknya kita perlu
belajar memantau hal-hal tersebut agar ucapan-ucapan dan sikap kita terhadap
pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sesedikit mungkin tercampur
oleh unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subyektif kita.
Ketrampilan yang
perlu dilatih terus-menerus
ialah dalam mendengarkan dengan cermat (empathic listening). Dengan mendengar dengan teliti, disertai observasi
yang cermat, serta didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang psikologi,
psikopatologi dan proses-proses kejiwaan, kita akan mendapat gambaran yang
tepat dan menyeluruh tentang pasien.
Setelah
melakukan wawancara dengan pasien, hendaknya kita dapat membuat konklusi
tentang keadaan mental pasien {seberapa cemas, apakah ia dalam keadaan
depresi, bingung (confuse), marah,
atau bahkan tidak mengerti harus berbuat apa}; setelah itu tentunya kita harus
mengetahui langkah apa yang harus kita perbuat untuk menolongnya.
PUSTAKA ACUAN
1.
Kaplan
H.I. & Sadock BJ Psychotherapies, in Comprehensive Textbook of Psychiatry,
Chapter 31, Eight Edition, Vol.2, William & Wilkins, Baltimore, 2004, 1767-70.
2.
Gabbard
G.O. Individual Psychotherapy, in Psychodynamic Psychiatry Clinical Practice -
The DSM - IV Edition, American Psychiatric Press, 2000, 91-5.
3.
Lubis
DB & Elvira SD. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Balai
Penerbit FKUI, 2005: 10-12
4.
Elvira
SD. Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit FKUI, 2005: 5,7, 9.
5.
Gabbard
GO. Long-Term Dynamic Psychotherapy, American Psychiatric Press, 2004, 91-5.
6.
Jackson
SW. The Listening Healer in the History of Psychological Healing. Am J of
Psychiatry: Dec. 1992
7.
Green
B. Psychotherapy, in Problem-based Psychiatry, Churchill Livingstone, Medical
Division of Pearson Professional Ltd., 1996, 140-3.
8.
Wolberg
L.R. What is Psychotherapy? in The Technique os Psychotherapy, Part One,
Grune & Stratton, New York, San Fransisco, London,1977, 3-4, 15-6
9.
Lubis
D.B. Wawancara Psikiatrik, dalam
Pengantar Psikiatri Klinik, Balai
Penerbit FKUI, 1989, 58-9, 97, 106, 112.
10. Janis I.L. Problems
of Short-term Counseling, in Short-term Counseling, Yale University Press, New
Haven and London, 1983, 8-10.
11. Karasu T.B. Psychotherapies: An Overview,
American J. Psychiatry, 134 : 8, 1977,
857- 8.
12. Weissman M.M. &
Markowitz, J.C., Interpersonal Psychotherapy, Current status, Arch. Gen.
Psychiatry, 51, 1994, 599 - 601.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar